Oleh
Syaikh Al-Allamah
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Syaikh Al-Allamah Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]
Sesungguhnya
segala puji bagi Allah, kita memujiNya, memohon pertolongan dan berlindung
kepadaNya dari keburukan diri kita dan kejelekan amalan kita, siapa yang diberi
petunjuk oleh Allah niscaya dia akan tertunjuki, sedang siapa yang disesatkan
Allah tiada yang mampu memberi petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi tiada
ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan saya
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Amma
ba’du.
Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari para ulama
supaya mereka menjelaskan kepada manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada
mereka (syari’at ini), Allah berfirman.
“Artinya : Dan (ingatlah), ketika
Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) :
‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu
menyembunyikannya” [Ali-Imron : 187]
Allah melaknat orang yang
menyembunyikan ilmunya.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang
jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab,
mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat
melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan
menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan
Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Baqarah :
159-160]
Dan Allah mengancam mereka dengan neraka.
“Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah,
yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu
sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan
Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan
mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih” [Al-baqarah : 174]
Sebagai
pengamalan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya :
Agama itu adalah nasehat, kami bertanya : ‘Bagi siapa wahai Rasulullah ?’ Jawab
beliau : ‘Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan
mayarakat umum” [Hadit Riwayat Muslim]
Dan mencermati beragam musibah
yang menimpa umat Islam dan pemikiran-pemikiran yang disusupkan oleh komplotan
musuh terutama pemikiran import yang merusak aqidah dan syari’at umat, maka
wajib bagi setiap orang yang dikarunia ilmu agama oleh Allah agar memberi
penjelasan hukum Allah dalam beberapa masalah
berikut.
DEMOKRASI
Menurut pencetus dan pengusungnya,
demokrasi adalah pemerintahan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,
-pent). Rakyat pemegang kekuasaan mutlak. Pemikiran ini bertentangan dengan
syari’at Islam dan aqidah Islam. Allah berfirman.
“Artinya : Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah” [Al-An’am : 57]
“Artinya : Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang kafir” [Al-Maidah : 44]
“Artinya : Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak
dizinkan Allah ?” [As-Syura : 21]
“Artinya : Maka demi Rabbmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan” [An-Nisa : 65]
“Artinya : Dan dia
tidak mengambil seorangpun menjadi sekutuNya dalam menetapkan keputusan”
[Al-Kahfi : 26]
Sebab demokrasi merupakan undang-undang thagut, padahal
kita diperintahkan agar mengingkarinya, firmanNya.
“Artinya : (Oleh
karena itu) barangsiapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” [Al-Baqarah :
256]
“Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan) : ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thagut itu” [An-Nahl
: 36]
“Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi
bahagian dari Al-Kitab ? Mereka percaya kepada jibt dan thagut, dan mengatakan
kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya
dari orang-orang yang beriman” [An-Nisa : 51]
DEMOKRASI BERLAWANAN
DENGAN ISLAM, TIDAK AKAN MENYATU SELAMANYA.
Oleh karena itu hanya ada
dua pilihan, beriman kepada Allah dan berhukum dengan hukumNya atau beriman
kepada thagut dan berhukum dengan hukumnya. Setiap yang menyelisihi syari’at
Allah pasti berasal dari thagut.
Adapun orang-orang yang berupaya
menggolongkan demokrasi ke dalam sistem syura, pendapatnya tidak bisa diterima,
sebab sistem syura itu teruntuk sesuatu hal yang belum ada nash (dalilnya) dan
merupakan hak Ahli Halli wal Aqdi [1] yang anggotanya para ulama yang wara’
(bersih dari segala pamrih). Demokrasi sangat berbeda dengan system syura
seperti telah dijelaskan di muka.
BERSERIKAT
Merupakan bagian
dari demokrasi, serikat ini ada dua macam :
[a] Serikat dalam politik
(partai) dan,
[b] Serikat dalam pemikiran.
Maksud serikat pemikiran
adalah manusia berada dalam naungan sistem demokrasi, mereka memiliki kebebasan
untuk memeluk keyakinan apa saja sekehendaknya. Mereka bebas untuk keluar dari
Islam (murtad), beralih agama menjadi yahudi, nasrani, atheis (anti tuhan),
sosialis, atau sekuler. Sejatinya ini adalah kemurtadan yang nyata.
Allah
berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang
(kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah
menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang
demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada
orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi) ;
‘Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan’, sedang Allah mengetahui rahasia
mereka” [Muhammad : 25]
“Artinya : Barangsiapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya” [Al-Baqarah : 217]
Adapun serikat politik (partai
politik) maka membuka peluang bagi semua golongan untuk menguasai kaum muslimin
dengan cara pemilu tanpa mempedulikan pemikiran dan keyakinan mereka, berarti
penyamaan antara muslim dan non muslim.
Hal ini jelas-jelas menyelisihi
dali-dalil qath’i (absolut) yang melarang kaum muslimin menyerahkan kepemimpinan
kepada selain mereka.
Allah berfirman.
“Artinya : Dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang beriman” [An-Nisa : 141]
“Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu”
[An-Nisa : 59]
“Artinya : Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang
Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau adakah kamu
(berbuat demikian) ; bagaimanakah kamu mengambil keputusan ? [Al-Qolam :
35-36]
Karena serikat (bergolong-golongan) itu menyebabkan perpecahan dan
perselisihan, lantaran itu mereka pasti mendapat adzab Allah. Allah
memfirmankan.
“Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” [Ali-Imran :
105]
Mereka juga pasti mendapatkan bara’ dari Allah (Allah berlepas diri
dari mereka). FirmanNya.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah
belah agamaNya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu kepada mereka” [Al-An’am : 159]
Siapapun yang beranggapan bahwa
berserikat ini hanya dalam program saja bukan dalam sistem atau disamakan dengan
perbedaan madzhab fikih diantara ulama maka realita yang terpampang di hadapan
kita membantahnya. Sebab program setiap partai muncul dari pemikiran dan aqidah
mereka. Program sosialisme berangkat dari pemikiran dasar sosialisme,
sekularisme berangkat dari dasar-dasar demokrasi, begitu
seterusnya.
[Dialih bahasakan dari Majalah Al-Ashalah, edisi 2
Jumadil Akhir 1413H, oleh Abu Nuaim Al-Atsari, Disalin ulang dari Majalah
Al-Furqon, edisi 7/Th III. Hal.39-43]
_________
Foote Note.
[1] Ahlu
Halli wal Aqdi tersusun dari dua kata Al-Hillu dan Al-Aqdu. Al-Hillu berarti
penguraian, pelepasan, pembebasan dll. Sedang Al-Aqdu berarti pengikatan,
penyimpulan, perjanjian dll. Maksudnya yaitu semacam dewan yang menentukan
undang-undang yang mengatur urusan kaum muslimin, perpolitikan, manajemen,
pembuatan undang-undang, kehakiman dan semisalnya. Semua hal tersebut suatu saat
bisa direvisi lagi dan disusun yang baru [Lihat kitab Ahlu Halli wal Aqdi,
Sifatuhum wa Wadha’ifuhum. Dr Abdullah bin Ibrahim At-Thoriqi, Rabithah Alam
Islami, -pent]
Sumber :
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=577&bagian=0