Pondasi | Negara | Islamy

“Kalau rumah jang baru kita dirikan belum memuaskan kehendak kita, apakah lantas kita bakar sadja sampai hangus?" Dr M Natsir

dalam kasus ini,
sudut pandang mana yang digunakan,

dan lebih khusus lagi,
bagaimana kita menempatkan Pancasila.

kemungkinan ada 2 pendapat,
Pancasila adalah dasar negara yang Islami,

kedua
Pancasila adalah dasar negara yang tidak Islami,

Pabila kita gunakan ibarat rumah untuk negeri ini,
maka kita akan melihat Pancasila
adalah dasar
adalah pondasi negara ini,

sehingga jika kita melihat dengan kacamata pertama,
berarti dasar atau pondasi kita sudah baik,
dengan demikian, terdapat ketimpangan di luar pondasi ini,
sehingga tak perlu ada pembongkaran total
untuk melakukan perbaikan,

berbeda jika kita melihat dengan kaca mata kedua,
ini melihat pancasila bukanlah produk Islam.
maka,
tidak ada cara lain untuk merubah rumah kecuali dengan merobohkannya jika memang dasarnya yang rapuh.
Share:

Dakwah pada Semua

siang tadi sempet melihat temen HTI,
mengajak beberapa sahabat untuk ikut kajian,
awalnya nafsu mangajak diri untuk syu u dhan,
namun beruntung jiwa masih mampu menolaknya,

dakwah ini memang beragam,
ada target orang yang awam, ada pula orang yang tahu,

ketika kami harus berdakwah kepada yang awam,
dan kami berhasil, 
maka kami akan dikatakan,
"orang-orang yang masuk kelompoknya adalah orang-orang awam,
makanya mudah dipengaruhi"

lalu ketika kami mengingatkan orang-orang yang tahu, namun terbelok arah,
maka kami akan dikatakan,
"mereka ini adalah anggota kelompok kami,
biarlah dia menjadi urusan kami,
berdakwahlah kepada orang-orang yang awam saja"

jika demikian, dakwah adalah menyebar pengaruh,
pengaruh kebenaran,
kepada siapapun,
yang awam,
atau yang tahu, namun terbelok.
Share:

Prioritas Jamaah

Dalam perjalanan umat ini,
sesungguhnya garis besar halauan ummat telah dibuat,
garis besar halauan umat ini adalah
QURAN dan SUNNAH.

Ummat ini adalah ummatan wasathan,
ummat ini adalah ummatan wahidan,
ummat ini adalah ummat islam,
ummat ini adalah jamaatul muslimin,

dalam ummat ini kita diajarkan atas al wala dan al bara,
dimana keduanya dipisahkan secara tegas oleh Al Furqan,
dan pemisahan itu dijelaskan secara detil dalam Sunnah
dan pula antara prioritas dan pula aprioritas

dan kini jamaah ummat ini tak lagi sebatas jamaatul muslimin,
tapi telah berkembang pada detil jamaat minal muslimin.
hingga tuntutan tak lagi sebatas membesarkan jamaat muslimin,
tapi juga membesarkan jamaat minal muslimin.

dan hingga tuntutan akan berkembangnya jamaat mnal muslimin bertambah.
dan hingga melenakan akan kewajiban dan kewalaan terhadap jamaat muslimin,
dan hingga mementingkan kepentingan jamaat minal muslimin terhadap jamaat muslimin
dan hingga jamaat minal muslimin dari kelompok lain dihabisi.

Sahabat,
bersatulah,
bersaulah kembai dalam jamaat muslimin,
bolehlah kiranya bergabung dalam jamaat minal muslimin,
tapi kembalikan prioritas pada tempatnya,

bukan saling menjatuhkan,
saling menghina,
tapi saling membangun,
saling melengkapi,

Insya Allah,
Ketinggian kalimatillah akan tercapai dalam kebersamaan.
Share:

Budaya Islam di mata seorang pendeta dan Jawabannya

Saya pernah mendengar ceramah seorang pendeta,
dia mengatakan bahwa,
Bismillah itu bukan milik Islam,
Assalamu alaikum bukan milik Islam,
Berjilbab itu bukan milik Islam,

dia menagatakan itu adalah
milik kebudayaan arabian,
karena kata-kata assalamualaikum adalah perkataan malaikat,
ketika jibril bertemu dengan maria
lalu ketika yesus bertemu dengan murid-muridnya,

hanya karena kalian (jamaah gereja)
sering menggunakan injil berbahasa indonesia,
bahasa inggris, bahasa china, dan bahasa daerah kalian,
maka kalian tidak pernah mendapati kata-kata tersebut.
padahal dalam injil berbahasa arab, kata-kata tersebut terdapat banyak.

lalu tentang jilbab itu asalnya dari timur,
tidak ada perayaan yang menggambarkan,
maria rambutnya di kepang 2 (adat barat)
yusuf rambutnya di sisir rapi,
tapi dalam perayaan kristen,
mereka selalu digambarkan dengan keluarga yang mengenakan jilbab.

pernyataan-pernyataan tersebut disampaikan oleh seorang pendeta,
pendeta lulusan mesir,
pendeta yang tidak mengetahui konsep peradaban,
konsep peradaban islam khususnya.

saya katakan ya,
jika itu adalah adat dari timur,
namun Islam tidak hanya mengadopsi sesuatu yang dari timur,
namun juga dari barat, seperti cara berperang,
pakaian perang, juga mengambil dari bangsa lain tentang ilmu kesehatan,
astronomi dan sebagainya,
bentuk masjid pun demikian.

mungkin secara lahir sama,
tapi secara konsep jelas berbeda,
karena dalam Islam, pembenaran itu adanya dari Quran dan Sunnah.

dalam Islam, konsep pengucapan salam pun di atur,
tidak seperti konsep pengucapan salam sebelum Islam,

ingat dalam sebuah peradaban Islam,
ada proses Islamisasi,
baik Islamisasi Ilmu dan Budaya Ilmu,
maupun Islamisasi yang lain,
sehingga tidak salah jika kami sebagai muslim,
menggunakan konsep Islam kami, bukan konsep Arabnya.
namun ini jangan diartikan dengan adanya Islam Arab, Islam Jawa,
bukan bukan demikian,
saya takut jika menggunakan istilah itu malah akan ada proses sekularisasi.
yang ada adalah budaya Arab, budaya Jawa dan budaya Islam. 

sebagai tambahan,
cara menyamakan antar agama yang saling berbeda adalah proses liberalisasi,
dan salah satu bentuk budaya Islam adalah toleransi,
kami diajarkan untuk toleransi, bukan untuk menyamakan ajaran agama.
Share:

Gadis Misterius

Hingga pada akhirnya kubuka pesan di ponselku,
tertulis nomor yang belum ku kenal,
dengan sapaan "met malem"

aku sedikit bingung, siapa dia,
dengan sebuah rasa penasaran, ku balas,
"malem juga, maf ini siapa ya?"

lama dia membalas,
dan dia hanya membalas,
"temenmu"

dia sok misterius,
" Siapa sih?
ce atau co?" aku bertanya,
meski dengan bahasa smsnya
aku mengenali itu adalah bahasa seorang cewek.

dia hanya membalas pendek
"ce",
lalu aku melontarkan pertanyaan bodoh,
"aku kenal kamu?
kasih tau nama atau maf, sekian."

"Li"
Balasnya pendek.
Aku masih tidak paham,
namana sependek itu,
atau itu adalah inisial,
atau entahlah,,

dan hingga kini dia masih menjadi gadis misterius,

Share:

Tentang Memilih

Seandainya di tanya,
"apabila orang meninggalkan agamanya (Islam),
pantaskah ia disebut kafir,
pantaskah ia disebut keluar dari Islam?"
saya yakin akan banyak  yang menjawab "YA"
dengan jawaban yang tegas.

tapi,
jika pertanyaannya semakin dikerucutkan,
"apabila orang mengambil sebuah keputusan,
memilih sebuah keputusan,
dengan dasar logikanya yang membenarkan,
dengan ia mengutamakan keuntungan untuk dirinya,
dengan ia melupakan kebutuhan agamanya,
dengan ia meninggalkan agamanya,"
masihkah ia pantas disebut "Islam"
atau ia sudah pantas disebut "kafir"?
atau "munafik"?

saya ingin menguatkan, bagaimanapun,
meninggalkan agama itu adalah,
jalan keluar dari Islam menuju kekafiran.

Pernahkah sahabat mendengar,
"udahlah, ini adalah pemilu, ini urusan negara,
jangan disangkut pautkan dengan agama"
bukankah ini ungkapan sekuler yang memisahkan
agama (ilmu teorinya) dari ilmu prakteknya.

ada lagi yang bilang,
"mending memilih pemimpin yang penting merakyat
mesipun dibelakangnya ada orang syiah, ada ini ada itu,
tapi kan dia pemimpin yang merakyat dan trek recordnya bagus.
daripada pemimpin yang siap memperjuangkan agama,
yang backingannya orang-orang saleh, tapi kurang merakyat".
sungguh pernyataan yang bodoh dan siap meruntuhkan Islam.

Pilihlah segala sesuatu karena agama !

itu baru di bidang memilih,,
lalu bagaimana dengan di bidang sains,,
"ini ilmiah, dan tentu ini benar, ya meskipun ini tidak dibenarkan agama.
untuk mendapatkan kebenaran dari sains, ya jangan di hubung-hubungin dengan  agama."
bukankah ini adalah pernyataan yang membawa kepada sekulerism,
dulu pernah diucapkan saintis yang harus mati karena fakta yang ia dapat,
tidak sesuai dengan injil yang telah di othak athik.

apa kalian ragu dengan keaslian Quran?
atau kalian ragu dengan Islam?
kalau ragu, mending syahadat ulang aja deh kamu itu?
Share: