Shadaqallahul Adzim Bid’ah?

Bacaan "shadaqallah al-A'dzim" ini dinilai bidah oleh Syekh Bin Baz dan Syekh Utsaimin. Namun Syaikh Athiyah Shaqr, Mufti al-Azhar mengeluarkan Fatwa terkait amaliah membaca Shadaqallahul Adzim saat selesai membaca al-Quran (Fatawa al-Azhar, 8/86):
وذكر القرطبى في مقدمة تفسيره أن الحكيم الترمذى تحدث عن آداب تلاوة القراَن الكريم وجعل منها أن يقول عند الانتهاء من القراءة : صدق الله العظيم أو أية عبارة تؤدى هذا المعنى . ونص عبارته "ج 1 ص 27 " : ومن حرمته إذا انتهت قراءته أن يصدق ربه ، ويشهد بالبلاغ لرسوله صلى الله عليه وسلم
Al-Qurthubi menyebutkan di Mukaddimah Tafsirnya bahwa Hakim al-Tirmidzi menyampaikan tatakrama dalam membaca al-Quran diantaranya adalah “Maha benar Allah”, atau redaksi lain yang semakna. Ia menjelaskan (1/27) bahwa diantara bentuk memuliakan al-Quran jika selesai membacanya adalah menyatakan Allah maha benar dan memberi kesaksian bahwa Rasulullah telah menyampaikan wahyu
وجاء فى فقه المذاهب الأربعة ، نشر أوقاف مصر، أن الحنفية قالوا : لو تكلَّم المصلى بتسبيح مثل . صدق اللّه العظيم عند فراغ القارئ من القراءة لا تبطل صلاته إذا قصد مجرد الثناء والذكر أو التلاوة ، وأن الشافعية قالوا : لا تبطل مطلقا بهذا القول
Dijelaskan dalam Fikih 4 Madzhab bahwa Ulama Hanafiyah berkata: “Jika orang yang salat membaca Tasbih, misalnya ‘Allah maha benar’ setelah imamnya selesai membaca al-Quran, maka tidak batal jika bertujuan memuji Allah, berdzikir atau membaca al-Quran”. Ulama Syafiiyah berkata: “Tidak batal mengucapkan kalimat ‘Allah maha benar’ secara mutlak”
فكيف يجرؤ أحد فى هذه الأيام على أن يقول : إن قول : صدق الله العظيم ، بعد الانتهاء من قراءة القرآن بدعة؟ أكرر التحذير من التعجل فى إصدار أحكام فقهية قبل التأكد من صحتها ، والله سبحانه وتعالى يقول :{ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب إن الذين يفترون على الله الكذب لا يفلحون } النخل : 116
Maka bagaimana mungkin hari ini ada yang mengatakan bahwa mengucapkan ‘Allah maha benar’ setelah membaca al-Quran adalah bidah? Saya (Syaikh Athiyah) ulang-ulang mengingatkan supaya tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan hukum fikih sebelum memperkuat kesahihannya. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (al-Nahl: 116)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Sahkah Tarawih Ngebut (20 Rakaat Ditempuh Kurang Dari 10 Menit)

Sudah saya duga masalah ini akan terbahas di bedah buku UMM Malang, ternyata betul, mahasiswa bertanya tentang lebih utamanya Tarawih 11 rakaat tapi tidak ngebut, dari pada 23 rakaat tapi ngebut.
Tarawih semecam ini yang saya ketahui pertama adalah di ponpes Shiratul Fuqaha' Sepanjang, Gondanglegi Malang. Saya saat itu hanya duduk tak mampu mengerjakan tarawih secepat itu. Kedua ada di ponpes Udanawu Blitar.
Saya tidak memungkiri hal ini memang ada. Dan memang ada pendapat yang mengatakan posisi setelah ruku' (i'tidal) dan duduk di antara 2 sujud adalah tidak wajib dalam shalat sunah, uraiannya adalah:
ﻭﻗﺪ ﺟﺰﻡ ﺑﻪ اﺑﻦ اﻟﻤﻘﺮﻱ ﻣﻦ ﻋﺪﻡ ﻭﺟﻮﺏ اﻻﻋﺘﺪاﻝ ﻭاﻟﺠﻠﻮﺱ ﺑﻴﻦ اﻟﺴﺠﺪﺗﻴﻦ ﻓﻲ اﻟﻨﻔﻞ ﻭﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﻓﻬﻞ ﻳﺧﺮ ﺳﺎﺟﺪا ﻣﻦ ﺭﻛﻮﻋﻪ ﺑﻌﺪ اﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﺃﻭ ﻳﺮﻓﻊ ﺭﺃﺳﻪ ﻗﻠﻴﻼ ﺃﻡ ﻛﻴﻒ اﻟﺤﺎﻝ ﻭﻟﻌﻞ اﻷﻗﺮﺏ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺜﺎﻧﻲ اﻩـ ﻋ ﺷ ﻋﻠﻰ ﻣ ﺭ.
"Ibnu Muqri telah memilih pendapat dalam Raudlah bahwa i'tidal dan duduk di antara 2 sujud adalah tidak wajib dalam shalat sunah. Berdasarkan pendapat ini apakah orang yang shalat langsung sujud dari ruku' atau mengangkat kepala sedikit, atau bagaimana? Pendapat yang lebih kuat menurutnya adalah yang kedua (mengangkat kepala sedikit terus sujud)" (Hasyiatul Jamal 1/365)
Dan perlu diketahui bahwa selama ada 1 pendapat di dalam madzhab Syafi'i maka akan ada juga yang mengamalkan pendapat itu. Saya guyoni bahwa tali di lambang NU itu diikat longgar, tidak seret, makanya ada yang mengamalkan.
Setahun lalu saya menerima informasi dari Wakil Rais Am, KH Miftahul Akhyar, bahwa beliau menganjurkan melakukan shalat Tarawih ini dengan khusuk dan tenang, tidak tergesa-gesa. Beliau kemudian menyampaikan sebuah hadis:
اﻟﺼﻼﺓ ﻣﺜﻨﻰ ﻣﺜﻨﻰ، ﺗﺸﻬﺪ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ، ﻭﺗﺨﺸﻊ، ﻭﺗﻀﺮﻉ، ﻭﺗﻤﺴﻜﻦ
Shalat sunah adalah 2 rakaat 2 rakaat, kamu melakukan tasyahud tiap 2 rakaat, khusuk, merendahkan diri dan tenang (HR Tirmidzi)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Tadarus Harus Dijauhi?

Ada Ustadz yang menyuruh untuk menjauhi tadarus Al-Qur'an jika yang membaca sama-sama sudah pandai, bukan untuk belajar, bukan untuk mengkaji tafsir. Intinya tadarus Al-Qur'an yang diamalkan warga NU adalah tidak ada dalilnya. Bener gitu? Mari kita simak hadis dan penjelasan para ulama:
ﻗَﺎﻝَ اﺑْﻦُ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ " ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﺟْﻮَﺩَ اﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺃَﺟْﻮَﺩَ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻓِﻲ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ اﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻓﻴﺪاﺭﺳﻪ اﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻓَﻠَﺮَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﺃَﺟْﻮَﺩُ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻣِﻦْ اﻟﺮِّﻳﺢِ اﻟْﻤُﺮْﺳَﻠَﺔِ " ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam adalah paling dermawannya manusia. Kedermawanan beliau paling terlihat ketika Ramadhan saat didatangi oleh Jibril. Ia datang kepada Nabi tiap malam di bulan Ramadhan, kemudian Jibril membacakan (mudarasah) Al-Qur'an kepada Nabi. Sungguh kedermawanan Nabi dengan kebaikan seperti angin yang berhembus" (HR Bukhari)
Apa maksud mudarasah dalam hadis diatas? Kita simak penjelasan Imam Nawawi, ahli hadis dan ahli Fikih dari Madzhab Syafi'i pengarang Syarah Sahih Muslim:
(اﻟﺴَّﺎﺩِﺳَﺔُ) ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑُﻨَﺎ اﻟﺴُّﻨَّﺔُ ﻛَﺜْﺮَﺓُ ﺗِﻼَﻭَﺓِ اﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻓِﻲ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻭَﻣُﺪَاﺭَﺳَﺘِﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﺃَﻥْ ﻳَﻘْﺮَﺃَ ﻋَﻠَﻰ ﻏَﻴْﺮِﻩِ ﻭَﻳَﻘْﺮَﺃَ ﻏَﻴْﺮُﻩُ ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻠﺤﺪﻳﺚ اﻟﺴﺎﺑﻖ ﻗﺮﻳﺒﺎ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ
Ulama Syafi'iyah menganjurkan memperbanyak membaca Al-Qur'an di bulan Ramadhan dan mudarasah. Yaitu seseorang membaca Al-Qur'an kepada orang lain dan orang lain tersebut membacakan Al-Qur'an untuknya, berdasarkan hadis Ibnu Abbas di atas (Al-Majmu', 6/377)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Mengusap Wajah, Membalik Tangan, dan Bersalaman

1. Hadis mengusap wajah setelah shalat
ﻭَﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲِ ﺑْﻦِ ﻣَﺎﻟِﻚٍ: «ﺃَﻥَّ اﻟﻨَّﺒِﻲَّ - ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ - ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَا ﺻَﻠَّﻰ ﻭَﻓَﺮَﻍَ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻪِ ﻣَﺴَﺢَ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻪِ ﻭَﻗَﺎﻝَ: " ﺑِﺴْﻢِ اﻟﻠَّﻪِ اﻟَّﺬِﻱ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﻫُﻮَ اﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ اﻟﺮَّﺣِﻴﻢُ، اﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨِّﻲ اﻟْﻬَﻢَّ ﻭَاﻟْﺤَﺰَﻥَ» ".
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam setelah selesai dari shalat maka beliau mengusap kepala dengan tangan kanan dan berdoa: "Dengan nama Allah yang tiada Tuhan selain Allah, maha Rahman dan Rahim. Ya Allah hilangkan susah dan sedih dariku"
ﻭَﻓِﻲ ﺭِﻭَاﻳَﺔٍ: «ﻣَﺴَﺢَ ﺟَﺒْﻬَﺘَﻪُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ اﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻓِﻴﻬَﺎ: " اﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨِّﻲ اﻟْﻬَﻢَّ ﻭَاﻟْﺤَﺰَﻥَ».
Dalam riwayat lain Nabi mengusap kening/ dahi dan berdoa: "Ya Allah hilangkan susah dan sedih dariku"
ﺭَﻭَاﻩُ اﻟﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲُّ ﻓِﻲ اﻷَْﻭْﺳَﻂِ، ﻭَاﻟْﺒَﺰَّاﺭُ ﺑِﻨَﺤْﻮِﻩِ ﺑِﺄَﺳَﺎﻧِﻴﺪَ، ﻭَﻓِﻴﻪِ ﺯَﻳْﺪٌ اﻟْﻌَﻤِّﻲُّ، ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺛَّﻘَﻪُ ﻏَﻴْﺮُ ﻭَاﺣِﺪٍ، ﻭَﺿَﻌَّﻔَﻪُ اﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭُ، ﻭَﺑَﻘِﻴَّﺔُ ﺭِﺟَﺎﻝِ ﺃَﺣَﺪِ ﺇِﺳْﻨَﺎﺩَﻱِ اﻟﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲِّ ﺛِﻘَﺎﺕٌ، ﻭَﻓِﻲ ﺑَﻌْﻀِﻬِﻢْ ﺧِﻼَﻑٌ.
HR Thabrani dan Bazzar dengan beberapa sanad. Di dalamnya ada Zaid Al-Ammi, lebih dari 1 ulama menilai terpercaya dan kebanyakan ulama menilai dhaif. Perawi lain dari 2 sanad Thabrani adalah terpercaya, sebagiannya diperselisihkan.
2. Hadis mengusap wajah setelah berdoa
Syekh Abdullah Al-Faqih, sesama Salafi dan pengasuh Fatawa Syabkah Islamiah, menulis:
ﻓﻘﺪ ﻭﺭﺩﺕ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﻲ ﻣﺴﺢ اﻟﻮﺟﻪ ﺑﻌﺪ اﻟﺪﻋﺎء - ﺧﺎﺭﺝ اﻟﺼﻼﺓ- ﻛﻠﻬﺎ ﺿﻌﻴﻔﺔ، ﺇﻻ ﺃﻥ اﻟﺤﺎﻓﻆ اﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻣﺠﻤﻮﻋﻬﺎ ﻳﺒﻠﻎ ﺩﺭﺟﺔ اﻟﺤﺴﻦ.
Sungguh terdapat beberapa hadis tentang mengusap wajah setelah berdoa -di luar shalat- yang keseluruhannya dhaif. Namun menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi isyarat secara akumulasi riwayat sampai pada derajat hadis Hasan (195/351)
ﻭﻣﻨﻬﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: "ﻓﺈﺫا ﻓﺮﻏﺖ ﻓﺎﻣﺴﺢ ﺑﻬﻤﺎ ﻭﺟﻬﻚ" ﺭﻭاﻩ ﺃﺑﻮ ﺩاﻭﺩ ﻭاﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ
Diantaranya adalah sabda Nabi shalla Allahu alaihi wasallam: "Jika kalian selesai berdoa maka usaplah wajahmu dengan kedua tanganmu" (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Saya tambahkan penjelasan dari Mufti Salafi, Syekh Utsaimin:
ﻭﻣﻦ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻣﻦ ﻗﺎﻝ: ﺇﻥ اﻟﻤﺴﺢ ﺳﻨﺔ ﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ ﺃﻥ اﻷﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﻀﻌﻴﻔﺔ ﺇﺫا ﺗﻜﺎﺛﺮﺕ ﻗﻮﻯ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﻌﻀﺎً.
Diantara para ulama ada yang mengatakan bahwa mengusap wajah adalah sunah. Berdasarkan bahwa jika ada hadis dhaif jika memiliki banyak riwayat maka saling menguatkan (Majmu' Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 14/100)
3. Hadis membalikkan tangan saat doa meminta perlindungan
ﻭَﻋَﻦْ ﺧَﻼَّﺩِ ﺑْﻦِ اﻟﺴَّﺎﺋِﺐِ اﻷَْﻧْﺼَﺎﺭِﻱِّ: «ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ اﻟﻠَّﻪِ - ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ - ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَا ﺳَﺄَﻝَ ﺟَﻌَﻞَ ﺑَﺎﻃِﻦَ ﻛَﻔَّﻴْﻪِ ﺇِﻟَﻴْﻪِ، ﻭَﺇِﺫَا اﺳﺘﻌﺎﺫ ﺟَﻌَﻞَ ﻇَﺎﻫِﺮَﻫُﻤَﺎ ﺇِﻟَﻴْﻪِ». ﺭَﻭَاﻩُ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﻣُﺮْﺳَﻼً، ﻭَﺇِﺳْﻨَﺎﺩُﻩُ ﺣَﺴَﻦٌ.
Dari Khallad bin Saib Al Anshori bahwa jika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berdoa maka Nabi arahkan telapak tangannya ke wajahnya. Jika Nabi meminta perlindungan maka bagian luar tangannya diarahkan ke wajahnya -dibalik-" (HR Ahmad secara Mursal, sanadnya Hasan)
4. Hadis bersalaman setelah shalat
Imam Nawawi pengarang kitab Sahih Muslim mengatakan bahwa bersalaman setelah shalat Subuh dan Ashar adalah Bid'ah yang diperbolehkan. Mana hadisnya? Ada 2 hadis. Para Sahabat setelah shalat berebut bersalaman dengan Nabi setelah Ashar (HR Bukhari). Dalam riwayat lain setelah Subuh (riwayat Ahmad). Berikut isi hadisnya, maaf sampai pegel tangan saya yang mau nerjemah:
ﻋَﻦِ اﻟﺤَﻜَﻢِ، ﻗَﺎﻝَ: ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺃَﺑَﺎ ﺟُﺤَﻴْﻔَﺔَ، ﻗَﺎﻝَ: «ﺧَﺮَﺝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺎﻟﻬَﺎﺟِﺮَﺓِ ﺇِﻟَﻰ اﻟﺒَﻄْﺤَﺎءِ، ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄَ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻈُّﻬْﺮَ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ، ﻭَاﻟﻌَﺼْﺮَ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ، ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻋَﻨَﺰَﺓٌ» ﻗَﺎﻝَ ﺷُﻌْﺒَﺔُ ﻭَﺯَاﺩَ ﻓِﻴﻪِ ﻋَﻮْﻥٌ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﺃَﺑِﻲ ﺟُﺤَﻴْﻔَﺔَ، ﻗَﺎﻝَ: «ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻤُﺮُّ ﻣِﻦْ ﻭَﺭَاﺋِﻬَﺎ اﻟﻤَﺮْﺃَﺓُ، ﻭَﻗَﺎﻡَ اﻟﻨَّﺎﺱُ ﻓَﺠَﻌَﻠُﻮا ﻳَﺄْﺧُﺬُﻭﻥَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻓَﻴَﻤْﺴَﺤُﻮﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﻭُﺟُﻮﻫَﻬُﻢْ، ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺄَﺧَﺬْﺕُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓﻮﺿﻌﺘﻬﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻲ ﻓَﺈِﺫَا ﻫِﻲَ ﺃَﺑْﺮَﺩُ ﻣِﻦَ اﻟﺜَّﻠْﺞِ ﻭَﺃَﻃْﻴَﺐُ ﺭَاﺋِﺤَﺔً ﻣِﻦَ اﻟﻤِﺴْﻚِ» رواه البخاري
ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﺑْﻦِ اﻷَْﺳْﻮَﺩِ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ، ﻗَﺎﻝَ: ﺣَﺠَﺠْﻨَﺎ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺣَﺠَّﺔَ اﻟْﻮَﺩَاﻉِ، ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﺑِﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺻَﻼَﺓَ اﻟﺼُّﺒْﺢِ ﺃَﻭِ اﻟْﻔَﺠْﺮِ ... ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﺃَﺷَﺐُّ اﻟﺮِّﺟَﺎﻝِ ﻭَﺃَﺟْﻠَﺪُﻩُ. ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﻤَﺎ ﺯِﻟْﺖُ ﺃَﺯْﺣَﻢُ اﻟﻨَّﺎﺱَ ﺣَﺘَّﻰ ﻭَﺻَﻠْﺖُ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻓَﺄَﺧَﺬْﺕُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓﻮﺿﻌﺘﻬﺎ ﺇِﻣَّﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻲ ﺃَﻭْ ﺻَﺪْﺭِﻱ، ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﻤَﺎ ﻭَﺟَﺪْﺕُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺃَﻃْﻴَﺐَ ﻭَﻻَ ﺃَﺑْﺮَﺩَ ﻣِﻦْ ﻳَﺪِ ﺭَﺳُﻮﻝِ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ. رواه
احمد
Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)

Share:

Soal Kirim Pahala Al-Qur'an

Kirim pahala Al-Quran memang dibaca saat Tahlilan. Saya tidak perlu jauh-jauh mengutip pendapat ulama dari kalangan 4 madzhab. Cukup ulama / Mufti dari sesama mereka sendiri:
A. Syekh Utsaimin
Syekh Utsaimin ditanya tentang masalah kirim pahala Al-Qur'an kepada orang yang sudah wafat. Beliau menjawab dengan 2 pendapat ulama. Diantara kutipan dari tulisan beliau adalah:
اﻟﻘﻮﻝ اﻟﺜﺎﻧﻲ: ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻹﻧﺴﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﻨﻴﺔ ﺃﻧﻪ ﻟﻔﻼﻥ ﺃﻭ ﻓﻼﻧﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﺳﻮاء ﻛﺎﻥ ﻗﺮﻳﺒﺎ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﻗﺮﻳﺐ.
Kedua, bahwa mayit menerima manfaat dengan bacaan Al-Qur'an. Dan boleh bagi seseorang untuk membaca Al-Qur'an dengan niat agar pahalanya diberikan kepada Fulan atau fulanah dari umat Islam, baik kerabat atau bukan kerabat.
TARJIH Syekh Utsaimin:
ﻭاﻟﺮاﺟﺢ: اﻟﻘﻮﻝ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻷﻧﻪ ﻭﺭﺩ ﻓﻲ ﺟﻨﺲ اﻟﻌﺒﺎﺩاﺕ ﺟﻮاﺯ ﺻﺮﻓﻬﺎ ﻟﻠﻤﻴﺖ
Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua, sebab terdapat dalil sahih dalam jenis ibadah yang dapat diperuntukkan bagi mayit (Majmu' Fatawa Wa Rasail 2/305-306)
B. Syekh Albani
Syekh Albani yang sering dijadikan rujukan para pengikutnya di Indonesia khususnya di bidang hadis dan beberapa fatwa fikihnya, ternyata memiliki pendapat sendiri soal kirim pahala Al-Quran:
وَخُلَاصَةُ ذَلِكَ أَنَّ لِلْوَلَدِ أَنْ يَتَصَدَّقَ وَيَصُوْمَ وَيَحُجَّ وَيَعْتَمِرَ وَيَقْرَأَ الْقُرْآنَ عَنْ وَالِدَيْهِ لِأَنَّهُ مِنْ سَعْيِهِمَا ، وَلَيْسَ لَهُ ذَلِكَ عَنْ غَيْرِهِمَا إِلَّا مَا خَصَّهُ الدَّلِيْلُ مِمَّا سَبَقَتِ الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ . و الله أعلم . (السلسلة الصحيحة - ج 1 / ص 483)
“Kesimpulannya, bahwa anak boleh bersedekah, berpuasa, berhaji, berumrah dan MEMBACA AL-QURAN untuk kedua orag tuanya. Sebab anak merupakan usaha orang tua (Najm 39). Dan anak tersebut tidak bisa melakukan itu semua untuk selain orang tuanya, kecuali yang dikhususkan oleh dalil, yang telah dijelaskan” (al-Silsilah al-Sahihah, 1/483)
C. Syekh Ibnu Taimiyah
Secara khusus membaca Tahlil dan dzikir lainnya yang dihadiahkan pahalanya untuk orang yang sudah wafat difatwakan oleh panutan Salafi yang mereka sebut dengan Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah:
ﻭﺳﺌﻞ: ﻋﻦ ﻗﺮاءﺓ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﺗﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ؟ ﻭاﻟﺘﺴﺒﻴﺢ ﻭاﻟﺘﺤﻤﻴﺪ ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭاﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﺇﺫا ﺃﻫﺪاﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺛﻮاﺑﻬﺎ ﺃﻡ ﻻ؟
Ibnu Taimiyah ditanya tentang bacaan keluarga mayit apakah sampai kepada mayit? Berupa bacaan Tasbih, Tahmid, Tahlil dan Takbir, jika dihadiahkan kepada mayit apakah pahalanya sampai?
ﻓﺄﺟﺎﺏ: ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻗﺮاءﺓ ﺃﻫﻠﻪ ﻭﺗﺴﺒﻴﺤﻬﻢ ﻭﺗﻜﺒﻴﺮﻫﻢ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺫﻛﺮﻫﻢ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺇﺫا ﺃﻫﺪﻭﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻭﺻﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ.
Ibnu Taimiyah menjawab: "Bacaan keluarga mereka bisa sampai kepada mayit, baik tasbih, takbir dan dzikir mereka karena Allah. Bila mereka menghadiahkan bacaan itu kepada mayit maka akan sampai. Wallahu A'lam" (Majmu' Fatawa 24/324)
Jika Ustadz Salafi ini mengklaim bahwa ulama Ahlussunah telah melakukan Ijma' / sepakat bahwa kirim pahala Al-Quran dan Tahlil tidak sampai kepada almarhum berarti sudah jelas menurut teorinya bahwa Syekh Utsaimin, Syekh Albani bahkan Syaikhul Islam mereka bukan Ahlussunah, betul begitu?

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Bakar "Menyan" Di Makkah

Saya terkejut dulu saat pertama kali umroh melihat ada orang Arab membakar sejenis menyan di tempat Sa'i. Saya kira orang tersebut keturunan Jawa. Kata 'mereka' menyan kan warisan nenek moyang Jawa.
Dupa yang dibakar sebagai pengharum masjid ternyata memiliki riwayat tersendiri:
ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ، ﻗَﺎﻟَﺖْ: «ﺃَﻣَﺮَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺒِﻨَﺎءِ اﻟﻤَﺴَﺎﺟِﺪِ ﻓِﻲ اﻟﺪُّﻭﺭِ، ﻭَﺃَﻥْ ﺗُﻨَﻈَّﻒَ، ﻭﺗﻄﻴﺐ»
Aisyah berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk membangun masjid di perkampungan, dan dibersihkan serta diberi pengharum (HR Tirmidzi)
ﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﺣَﺠَﺮٍ ﻭَﺑِﻪِ ﻳُﻌْﻠَﻢُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﺴْﺘَﺤَﺐُّ ﺗﺠﻤﻴﺮ اﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺑِﺎﻟْﺒَﺨُﻮﺭِ ﺧِﻼَﻓًﺎ ﻟِﻤَﺎﻟِﻚٍ ﺣَﻴْﺚُ ﻛَﺮِﻫَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪُ اﻟﻠَّﻪِ ﻳُﺠَﻤِّﺮُ اﻟْﻤَﺴْﺠِﺪَ ﺇِﺫَا ﻗَﻌَﺪَ ﻋُﻤَﺮُ ﺭَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻤِﻨْﺒَﺮِ
Ibnu Hajar berkata bahwa berdasarkan riwayat ini maka dianjurkan mengharumkan masjid dengan dupa. Namun menurut Malik hukumnya makruh. Sebab Ibnu Umar mengharumkan masjid saat Umar duduk di mimbar (Tuhfah Al Ahwadzi 3/168)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Melihat Nabi Dalam Keadaan Terjaga

Review Kitab Ikromul Qowam
Kitab berbahasa Arab ini secara khusus membahas tentang dalil-dalil dimungkinkannya melihat dan berjumpa dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam keadaan sadar dan terjaga.
Sebagaimana beliau cantumkan dalam mukadimah bahwa kitab ini untuk menjawab -1- orang-orang yang ingkar / tidak percaya terhadap perjumpaan orang-orang Soleh tertentu dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam secara sadar (bukan mimpi) dan -2- sanggahan kepada orang yang mengaku berjumpa dengan Nabi secara sadar sebagai pembohong.
Sistematika penulisan kitab ini cukup bagus. Di Bab pertama dijelaskan dalil-dalil yang menunjukkan bisa terjadinya perjumpaannya dengan Nabi secara sadar atau terjaga dan nama-nama ulama yang berpendapat demikian.
Dalil utama adalah hadis bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
«ﻣَﻦْ ﺭَﺁﻧِﻲ ﻓِﻲ اﻟﻤَﻨَﺎﻡِ ﻓﺴﻴﺮاﻧﻲ ﻓِﻲ اﻟﻴَﻘَﻈَﺔِ، ﻭَﻻَ ﻳَﺘَﻤَﺜَّﻞُ اﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﺑِﻲ»
"Barangsiapa yang melihat saya dalam mimpi maka akan melihat saya dalam keadaan terjaga. Dan syetan tidak bisa menyerupai saya" (HR Bukhari 6993)
Pada Bab kedua disediakan khusus jawaban atas kejanggalan yang diajukan oleh orang-orang yang tidak mempercayainya, diantaranya Al-Hafidz Ibnu Hajar menolak hal tersebut namun dijawab oleh ahli hadis lainnya seperti Al-Hafidz As-Suyuthi dan lainnya.
Bab ketiga, ini intinya menurut saya, adalah beberapa bukti penyampaian para ulama yang mendapatkan anugerah berjumlah dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam secara sadar dan terjaga.
Dalil dari sahabat yang ditulis adalah Sahabat Zaid bin Kharijah. Riwayat ini terdapat dalam kitab Dalail An-Nubuwah karya Imam Al-Baihaqi. Sebelum mencantumkan riwayat ini Al-Baihaqi menulis judul "Kesaksian orang mati atas kerasulan Muhammad shalallahu alaihi wasallam dan para Khalifah dengan riwayat yang sahih". Al-Baihaqi kemudian mencantumkan perkataan Imam Bukhari dalam "At-Tarikh" bahwa Zaid bin Kharijah ini adalah orang yang dapat berbicara setelah wafat dan memberi kesaksian terhadap Nabi dan 2 Khalifah.
Beberapa Sahabat lain yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan terjaga adalah Dhamrah (HR Thabrani, dinilai Hasan oleh Al-Hafidz Al-Haitsami). Demikian pula kisah populer Sayidina Utsman berjumpa dengan Nabi sesaat sebelum wafatnya (Al-Bidayah Wa An-Nihayah Ibn Katsir, dan Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir)
Dari kalangan Tabi'in juga ada, yaitu Ibnu Al-Mubarak.
ﻛَﺎﻥَ اﺑْﻦُ اﻟﻤُﺒَﺎﺭَﻙِ ﻳُﻜﺜِﺮُ اﻟﺠُﻠُﻮْﺱَ ﻓِﻲ ﺑَﻴْﺘِﻪِ، ﻓَﻘِﻴْﻞَ ﻟَﻪُ: ﺃَﻻَ ﺗﺴﺘﻮﺣﺶ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﺳْﺘَﻮﺣِﺶُ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻣَﻊَ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ -ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ- ﻭَﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ؟!
Ibnu Al-Mubarak banyak berdiam diri di rumah. Lalu ditanya: Apakah kamu tidak resah?" Ibnu Al-Mubarak menjawab: "Bagaimana aku resah padahal aku bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam dan para Sahabatnya" (Gus Nanal mengutip dari Ibnu Asakir, namun juga terdapat dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala' karya Al-Hafidz Adz-Dzahabi)
Selain di atas banyak lain ulama yang mengalami kejadian seperti ini. Kebanyakan oleh Gus Nanal diambilkan dari kitab Tanwir Al-Halak dan Al-Hawi karya Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi, Jami' Al-Karamat dan lainnya.
Tanbihun;
Sebagai pengamat yang menikmati karya kyai muda ini, saya ingin sedikit memberi komentar. Biasa, pengamat tinju kayak lebih hebat dari pada Mike Tyson. Padahal kalau maju ke ring tentu akan kabur sebelum bertanding. Demikian pula jika saya ditantang menulis kitab seperti ini maka saya milih untuk akad lagi (dengan istri lama, tajdidun nikah).
Pertama, karena peristiwa yang dialami oleh orang-orang Soleh dan Auliya' ini adalah karomah, maka alangkah bagusnya jika dipondasikan dengan dalil Al-Qur'an tentang kebenaran karomah seperti yang dialami oleh Ashaf, juru tulis Nabi Sulaiman yang dalam waktu singkat bisa membawa singgasana Ratu Balqis berpindah ke kerajaan Nabi Sulaiman:
ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦْ ﺁﺻَﻒَ ﺃَﻭْ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِﻩِ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎءِ اﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻬِﻲَ ﻛَﺮَاﻣَﺔٌ، ﻭَﻛَﺮَاﻣَﺔُ اﻟْﻮَﻟِﻲِّ ﻣُﻌْﺠِﺰَﺓُ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ.
Bila pemindahan itu dilakukan oleh Ashaf atau wali Allah lainnya maka itu adalah karomah. Dan karomah wali sama seperti mukjizat Nabi (Tafsir Al-Qurthubi, 13/206)
Kedua, karena ini maqam Rudud maka alangkah kuatnya bila disampaikan pendapat pentolan mereka yang percaya dengan masalah ini, misalnya:
ﻭﻻ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﻫﺬا اﻟﺒﺎﺏ: ﻣﺎ ﻳﺮﻭﻯ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻗﻮﻣﺎ ﺳﻤﻌﻮا ﺭﺩ اﻟﺴﻼﻡ ﻣﻦ ﻗﺒﺮ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺃﻭ ﻗﺒﻮﺭ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ. ﻭﺃﻥ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﺴﻴﺐ ﻛﺎﻥ ﻳﺴﻤﻊ اﻷﺫاﻥ ﻣﻦ اﻟﻘﺒﺮ ﻟﻴﺎﻟﻲ اﻟﺤﺮﺓ . ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ. ﻓﻬﺬا ﻛﻠﻪ ﺣﻖ ﻟﻴﺲ ﻣﻤﺎ ﻧﺤﻦ ﻓﻴﻪ
Tidak masuk dalam bab ini apa yang terjadi dalam riwayat bahwa sekelompok kaum mendengar jawaban Salam dari makam Nabi atau makam orang-orang Soleh lainnya. Dan Said bin Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi pada malam-malam perang Harrah, dan lainnya. Semua ini adalah haq, bukan tema yang kita bahas (Ibnu Taimiyah, Al-Iqtidha', 2/254)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Ziarah Kubur dan Silaturahmi Setelah Shalat Id

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Sahihnya:
ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ اﻟﻠَّﻪِ ﺭَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ، ﻗَﺎﻝَ: «ﻛَﺎﻥَ اﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫَا ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻮْﻡُ ﻋِﻴﺪٍ ﺧﺎﻟﻒ اﻟﻄﺮﻳﻖ»
Jabir bin Abdullah berkata bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam jika berangkat (ke tempat shalat Id) maka pulangnya tidak melewati tempat awal berangkat (Sahih al-Bukhari No 986)
Mengapa Nabi shalallahu alaihi wassallam melakukan hal tersebut? Para ulama memiliki penafsiran sendiri-sendiri seperti yang disampaikan oleh pensyarah Sahih al-Bukhari, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani:
ﻭَﻗَﺪِ اﺧْﺘُﻠِﻒَ ﻓِﻲ ﻣَﻌْﻨَﻰ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻗْﻮَاﻝٍ ﻛَﺜِﻴﺮَﺓٍ اﺟْﺘَﻤَﻊَ ﻟِﻲ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺃَﻛْﺜَﺮُ ﻣِﻦْ ﻋِﺸْﺮِﻳﻦَ
Para ulama beda pendapat tentang makna hadis di atas ke dalam banyak pendapat, yang terkumpul bagi saya lebih dari 20 pendapat
ﻭَﻗِﻴﻞَ ﻟﻴﺰﻭﺭ ﺃَﻗَﺎﺭِﺑَﻪُ اﻷَْﺣْﻴَﺎءَ ﻭَاﻷَْﻣْﻮَاﺕَ ﻭَﻗِﻴﻞَ ﻟِﻴَﺼِﻞْ ﺭَﺣِﻤَﻪُ
Ada yang mengatakan bahwa agar Nabi bisa menziarahi kerabatnya baik yang masih hidup atau sudah wafat. Ada juga yang berpendapat agar Nabi dapat melakukan silaturahmi (Fathul Bari 2/473)
Apakah anjuran itu hanya bagi imam saja? Al-Hafidz mengutip dari Madzhab Syafi'i:
ﻭَاﻟَّﺬِﻱ ﻓِﻲ اﻷُْﻡِّ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﺴْﺘَﺤَﺐُّ ﻟِﻹِْﻣَﺎﻡِ ﻭَاﻟْﻤَﺄْﻣُﻮﻡِ ﻭَﺑِﻪِ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻛْﺜَﺮُ اﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻴَّﺔِ
Penjelasan yang ada dalam kitab Al-Umm bahwa anjuran tersebut berlaku bagi imam dan makmum. Pendapat ini juga disampaikan oleh kebanyakan Madzhab Syafi'iyah (Fathul Bari 2/472)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Muslim Indonesia Pengikut Ulama Syafiiyah, Bukan Imam Syafi’i?

Saya perlu segera menyelesaikan tulisan ini sebelum hari raya, nanti tinggal bermaafan. Sebab ceramah ustadz Salafi ini menyalahkan banyak amalan kita meski dalam durasi singkat. Biasanya saya cukup menjawab pakai hp, kali ini saya menulis di senjata kedua yang lebih besar, laptop.
Kelompok yang menamakan diri mereka sebagai Salafi ini tidaklah menggunakan sistem bermadzhab dalam memahami dalil. Sehingga tatkala mereka berbicara soal madzhab maka akan terlihat lucu, menggelikan dan memperlihatkan kualitas keilmuannya. Maka benar yang dikatakan oleh ahli hadis dari Madzhab Syafi’i, Al-Hafidz Ibnu Hajar:
وَإِذَا تَكَلَّمَ الْمَرْء فِي غَيْر فَنّه أَتَى بِهَذِهِ الْعَجَائِب
“Jika seseorang berbicara di luar keahliannya, maka ia menyampaikan hal-hal aneh” (Fathul Bari, 5/446)
Beberapa poin saja yang perlu saya jelaskan:
1. Niat Dalam Shalat
Menurut ustadz ini melafalkan niat (nawaitu, ushalli dll) adalah bukan pendapat Imam Syafii, melainka pendapat sebagian ulama Syafiiyah. Betulkah?
BOHONG! Mari kita baca dengan seksama:
أَخْبَرَنَا ابْنُ خُزَيْمَةَ ، ثَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ كَانَ الشَّافِعِي إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ : بِسْمِ اللهِ مُوَجِّهًا لِبَيْتِ اللهِ مُؤَدِّيًا لِفَرْضِ اللهِ عَزَّ وَجَل َّاللهُ أَكْبَرُ
“Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi’, ia berkata: ”Imam Syafi’i ketika akan masuk dalam Shalat beliau mengucapkan: “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah, menunaikkan kewajiban kepada Allah. Allahu Akbar.” (Ibnu Al-Muqri, Al-Mu’jam: 317)
Katanya Imam Nawawi tidak menganjurkan? BOHONG LAGI!
Mari kita cek lagi tulisan Imam Nawawi, pentarjih utama Madzhab Syafii:
وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَيُنْدَبُ النُّطْقُ قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ.
"Dan niat di dalam hati. Dianjurkan mengucapkan niat sebelum takbir" (Minhaj Ath-Thalibin 1/26)
Saya bantu ustadz ini mengambil dari kitab Al-Majmu’, tetapi sayangnya tidak memahami dengan baik maksudnya:
فان نوى بقلبه ولم يتلفظ بلسانه أجزأه علي المذهب وبه قطع الجمهور وفيه الوجه الذى ذكره المصنف وذكره غيره وقال صاحب الحاوى هو قول ابى عبد الله الزبيري أنه لا يجزئه حتى يجمع بين نية القلب وتلفظ اللسان لان الشافعي رحمه الله قال في الحج إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح الا بالنطق قال اصحابنا غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير (المجموع - ج 3 / ص 277)
2. Mengirim Pahala Al-Quran Tidak Sampai
Lagi-lagi ustadz ini hanya membaca literatur sekunder, kalaupun rujukannya ke sumber primer Madzhab Syafi’i belum menyeluruh. Mari kita amati, kita bareng-bareng melototi yang disampaikan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar:
وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا
"Al-Za'farani (perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَهَذَا نَصٌّ غَرِيْب عَنِ الشَّافِعِي وَالزَّعْفَرَانِي مِنْ رُوَاةِ الْقَدِيْمِ وَهُوَ ثِقَة وَإِذَا لَمْ يَرِدْ فِي الْجَدِيْدِ مَا يُخَالِفُ مَنْصُوْصَ الْقَدِيْمِ فَهُوَ مَعْمُوْل بِهِ يلزم من ذلك أن يكون الشافعي قائلا بوصول ثواب القرآن لأن القرآن أشرف الذكر
"Ini penjelasan yang asing dari al-Syafi'i. Al-Za'farani adalah perawi Qaul Qadim, ia orang terpercaya. Dan jika dalam Qaul Jadid tidak ada yang bertentangan dengan penjelasan Qaul Qadim, maka Qaul Qadim inilah yang diamalkan. Dengan begitu asy-Syafii mengatakan sampainya pahala al-Quran, sebab Quran adalah dzikir yang paling mulia " (al-Imta', Ibnu Hajar, I/11)
3. Dzikir Suara Keras Setelah Shalat
Ustadz ini melewatkan kalimat awal Imam Syafii dan langsung memberi kesimpulan. Saya tidak tahu apakah beliau benar-benar melihat langsung ke kitab Al-Umm atau cuma sekedar mendengarkan. Baik saya bantu perlihatkan:
(قال الشافعي) وهذا من المباح للامام وغير المأموم قال وأى إمام ذكر الله بما وصفت جهرا أو سرا أو بغيره فحسن
Asy-Syafi’i berkata: “Ini adalah sesuatu yang boleh, bagi Imam atau selain makmum. Ia berkata: Jika ada imam yang berdzikir kepada Allah dengan bentuk dikeraskan, dilirihkan atau lainnya, maka ini BAIK” (Al-Umm 1/150)
Jadi soal dzikir suara keras dan tidaknya ada 2 pilihan, baik dan lebih baik. Kemudian Imam Syafii memilih (ikhtiar) yang lebih baik yaitu lirih. Tapi andaikan dikeraskan juga tidak apa-apa karena juga baik.
Di dalam Al-Umm tidak ada kata-kata Imam Syafi’i melarang. Berarti ustadz ini telah BOHONG lagi atas nama Imam Syafii.
4. Mencukur Jenggot Haram
Kita perhatikan dahulu:
( فَائِدَةٌ ) قَالَ الشَّيْخَانِ يُكْرَهُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ وَاعْتَرَضَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ فِي حَاشِيَةِ الْكَافِيَةِ بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ نَصَّ فِي الْأُمِّ عَلَى التَّحْرِيمِ
Ar-Rafii dan An-Nawawi berkata bahwa makruh memotong jenggot. Hal ini ditentang oleh Ibnu Rif’ah bahwa Asy-Syafii menjelaskan dalam kitab Al-Umm hukumnya haram (Tuhfah 41/204)
Mengapa Iman Rafi’i dan Imam Nawawi sampai berbeda dengan Imam Madzhabnya? Sebab kedua Imam tersebut memiliki otoritas untuk menarjih beberapa pendapat Imam Asy-Syafii. Karena jika ada riwayat yang sahih itulah madzhab Syafii. Ternyata ditemukan sebuah riwayat dalam kitab Al-Bukhari bahwa Sahabat Ibnu Umar pernah memotong jenggot. Jika memotong jenggot adalah haram secara mutlak tentu tidak akan dilakukan oleh Ibnu Umar.
5. Menulis Nama di Batu Nisan
Ustadz ini lagi-lagi tidak memiliki bekal cukup keilmuan yang memadai dalam istimbath hukum, yakni Ushul Fikih. Kata-kata ‘Nahy’ (larangan) ada yang haram dan ada yang makruh. Ketika menyampaikan larangan menulis di kuburan beliau mengutip hadis yang terdapat dalam riwayat Muslim tentang Tajshish. Saya cek berkali-kali tidak ditemukan dalam Sahih Muslim. Larangan menulis di kuburan itu riwayat An-Nasai, ustadz. Bukan di Sahih Muslim. Larangan menulis itu menurut sebagian ulama tidak haram, tapi makruh. Bahkan dalam riwayat Al-Hakim beliau kemukakan:
و ليس العمل عليها فإن أئمة المسلمين من الشرق إلى الغرب مكتوب على قبورهم و هو عمل أخذ به الخلف عن السلف
“Bukan ini (menulis di kuburan) yang diamalkan. Sebab para Imam dari Timur dan Barat tertulis dimakam mereka. Ini adalah amal yang telah diambil oleh ulama Khalaf dari ulama Salaf” (Al-Mustadrak, 1/525. Menurut Imam Adz-Dzahabi tetap disebut sebagai muhdats/ sesuatu yang baru)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share: