Takbir berkumandang, menggema dan mendayu, memecah sunyinya
pagi. Terdengar sayup-sayup, lantunan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar, Laa Ilaha illa Allahu, Huwa Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillah
hilhamd”. Kumandang ini mengundang Segenap Warga mBarek da sekitarnya untuk
berkumpul di Wisma Bukit Barisan.
Bukan hanya warga asli jogja yang turut meramaikan idul adha
kali ini. Para pelajar asal negeri jiran ini pun tak kalah banyak. Bahkan
jumlah mereka ada 25% dari yang hadir saat itu. Namun ada beberapa hal yang
membuat saya merasa heran. Ketika shalat telah selesai dan telah masuk waktu
khutbah, tampaklah seorang malaisya yang baru datang. Tampaknya orang ini tahu
bahwa idul adha sunah belaka. Dan mendengarkan khutbah itu juga penting. Maka
ia segera duduk dan diam sembari mendengar khutbah. Sedangkan Orang Indonesia,
ketika masuk waktu shalat idain mereka berduyun-duyun. Seolah idain itu wajib,
dan ketika berkhutbah tak sedikit dari kita yang senggol kanan- senggol kiri.
Selain itu juga ketika khutbah selesai. Mereka tak lekas
pulang. Mereka membantu panitia melipat Koran yang di gunakan sebagi alas. Dan
mereka memberesi Koran-koran itu dengan rapi. Aku yang jadi panitia saat itu
merasa malu karna hanya memberesi Koran dengan kaki. Aku pun turut menggunakan
tanganku untuk merapikan seperti yang orang-orang malaisya itu lakukan. Sedangkan
aku melihat orang-orang asli Indonesia malah langsung pulang tanpa terdahulu
merpikan Koran yang mereka bawa.
Dan
yang menjadi perhatian saya adalah selesai semua aitu mereka tiada langsung
pulang juga. Mereka berkumpul layaknya setelah lebaran, saling berjabat tangan
dan suasana keakraban pun segera muncul. Perempuan dan lelaki pun juga ada
batas yang muncul secara alamiah. Aku hanya berfikir, mereka berakrab seperti
ini adalah karena hal ini belum mereka lakukan lebaran kemaren.
0 komentar:
Posting Komentar