Refleksi Sumpah Pemuda | Bahasa yang Satu

Mungkin sahabat masih ingat dengan isi sumpah pemuda. Ada tiga hal pokok yang menjadi bahan sumpah ini. Berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu. Dalam hal ini saya sebatas membahas mengenai berbahasa satu, Bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia beberapa waktu diteriakkan akan menjadi bahasa pemersatu di ASEAN. Dengan alasan sebagian besar bahasa yang digunakan di wilayah ASEAN adalah bahasa Melayu. Mengapa Bahasa Indonesia yang diteriakkan akan menjadi bahasa ASEAN, bukan Bahasa Melayu.

Sedangkan di Indonesia sendiri, bahasa ini seoalah menjadi tamu di negeri sendiri. Bagaimana tidak, ketika anak-anak lebih senang untuk berdialog dengan sesamanya dengan bahasa melayu. Bukan salah  anak-anak dalam belajar, namun interaksi mereka dengan televisilah yang menyebabkan mereka fasih dengan Bahasa Melayu, fasih dengan  Bahasa Indonesia,  tapi lupa dengan bahasa induknya. Televisi Indonesia lebih bangga menampilkan kartun dari negeri tetangga dibanding dengan kartun produksi sendiri. Padahal kartun-kartun buatan Indonesia tidak kalah baik dengan buatan negeri tetangga. Bahkan ada yang bilang bahwa di balik layar film-film melayu tersebut juga orang Indonesia yang tidak laku menawarkan filmnya di TV Indonesia, sedangkan kartun mereka di terima di TV tetangga.

Lalu, sering kita teriak jadiah tuan rumah di negerimu sendiri. Tapi jika kita menerima tamu dari negeri tetangga semua berlomba untuk ikut menggunakan bahasa tamu. Mengapa tidak menempatkan seseorang sebagai penerjemah dan kita tetap menggunakan bahasa kita sekaligus mengenalkan bahasa kita.

Terakhir, kita bangga dengan bahasa nasional ini, Bukan berarti kita lupa dengan khasanah negara kita dengan ratusan bahasa induk kita. Dalam kasus ini sering kita dapati masyarakat yang kini lupa atau sekarang kesusahan menggunakan bahasa daerahnya dengan baik dan benar. Dengan demikian aku ingin berteriak kembali.
"AKU BANGGA INDONESIA"
"AKU CINTA INDONESIA"
"JADILAH TUAN RUMAH DI NEGERIMU SENDIRI"




Share:

Membentuk Pola Bukan Mengikut Pola

Terkadang aku iri dengan yang mereka lakukan.
Namun aku takut kedengkian akan berujung pada dosa.
Hingga aku memilih.
Untuk menetapi pola ini.

Pola yang memang tak berdasar.
Namun aku memilih untuk membuatnya berdasar.

Aku merajut benang benang absurd.
Menjadi pola tersendiri yang aku maknai.
Dan tak pernah dalam angan untuk memaksa.
Agar orang lain faham dengan pola ini.

Aku memilih untuk bertahan.
Meski yang lain cukup dikenal dengan pola orang lain.
Aku memilih bertahan untuk menjaga polaku.
Biarlah ia berdiri sendiri.
Karena aku yakin pola-pola kecil ini.
Suatu saat akan tergabung dalam pola besar.

Biar benang ini tetap terajut,
Dalam ke-absurd-an.
Dalam kerancuan imaji.

Dan aku bertahan dengan pola yang kecil ini.
Berusaha bersanding dengan pola besar.
Yang kini mereka punya.



Share:

Sakit dan Kerinduan

Ketika bait mulai tertulis.
Atas rasa kerinduan yang kian mendalam.
Rindu akan kampung halaman.
Meski dirasa tak pantas diri menujunya.

Hanya sebatas angan dan terbayang.
Ketika sakit, dialah perantara kesembuhan.
Bukan tabib atau dokter.
Beliau sebatas seorang petani tua.

Namun kesembuhan itu hadir.
Bersama dengan belai lembut kasihnya.
Bersama keikhlasan.

Hanya ucap terimakasih yang ku punya.
Maaf kali ini anakmu masih dirantau.
Maaf kali ini tak bisa memadu rindu.
Aku akan segera pulang.
Share:

Menyia Waktu

Setiap jiwa bernyawa,
Mendapat waktu yang berbeda,
Terkadang waktu itu habis ketika belia,
Namun pula ia dapat habis dikala senja.

Namun harus diakui,
Setiap jiwa bernyawa,
Mendapat waktu yang sama,
Dalam setiap harinya.

Duabelas jam di siang,
Dan duabelas jam di malam,
Kesemua mendapatkannya,
Menurut keadilanNya.

Kita diberi kehendak olehNya,
Tuk menggarap waktu kita,
sebagai ladang amal,
dengan sebaik-baiknya.

Namun terkadang kita tak sengaja,
Atau bahkan mungkin kita sengaja,
Merusak jatah waktu kita,
Dengan keburukan dan kerusakan.

Dan aku punya keyakinan,
Ketika kita merusak diwaktu pagi,
Maka kita akan mendapatkan sore yang rusak,
Begitu pula hubungan siang dan malam.

Bukan karena kita salah mengatur waktu,
Setelah kita merusaknya,
Ia akan menghasil waktu lanjut yang rusak,
Meski waktu rusak ini tak pernah direncana.

Waktu rusak ini dapat terwujud,
Semisal pekerjaan yang tidak maksimal,
Atau kita tertinggal kewajiban-kewajiban,
Atau kita kehilangan yang hampir kita dapat.

Itulah perlunya,
Kita memaksimalkan waktu,
Semua waktu kita,
Pagi, Siang, Sore, dan Malam.

Semoga kita bukan termasuk golongan Merugi.
Wallahu a'lam bi shawab.
Share: