Kesesatan Memurnikan Aqidah Part 1

Jika kita lihat lembaran sejarah dan latar belakangnya. Dalam Islam dikenal beberapa madzhab aqidah, baik aqidah yang shahih dan yang sesat. Adapun munculnya aqidah yang sesat ini jika dilihat dari latar belakangnya adalah upaya memurnikan aqidah yang salah langkah. Bahkan mereka yang tersesat ini menggunakan jargon memurnikan aqidah sehingga Khalifah pun tertarik menggunakannya sebagai madzhab aqidah resmi kekhalifahan saat itu.

Mari kita ambil contoh, aqidah mu'tazilah, mereka bersemangat memurnikan aqidah dengan menghindarkan Allah dari persifatan makhluq, sehingga setiap ada ayat yang berpotensi menyamakan Allah dengan makhluq akan ditakwil. Di posisi inilah kesesatan mulai muncul, sehingga mereka menakwil ayat-ayat yang menunjukan Allah bisa mendengar, bisa melihat, bisa berkata (Sama', Bashar, Kalam). Mereka berfikir bahwa jika Allah melihat berarti Allah punya mata, begitu juga dengan pendengaran dan penglihatan. Jika Allah memiliki mata, telinga dan mulut, berarti Allah tersusun oleh bagian-bagian tubuhNya. Jika demikian Allah bukanlah dzat yang Esa karena tersusun oleh bagian-bagian. Sehingga mu'tazilah mengingkari sifat Sama' Bashar, Kalam dan akan selalu menakwil ayat-ayat yang berkaitan dengan Sama' Bashar Kalam ataupun ayat yang berkaitan dengan ain, yad, wajh, maupun istiwa'. Mereka menakwil inipun juga karena adanya kekhawatiran terhadap umat dari penjasadan Allah, maksudnya mereka ingin agar umat tidak sampai menggambarkan Allah secara jasadi dan akhirnya bisa berujung membuat patung Allah.

Sekilas aqidah mu'tazilah ini benar karena ingin memurnikan aqidah pensifatan Allah dari penggambaran jasadiyah Allah. Namun penolakan mereka terhadap sifat Sama' Bashor Kalam juga mengandung arti bahwa Allah Buta, Allah Bisu, Allah Tuli. Sehingga pada tahap ini, pantaslah jika mereka disebut sesat.

Maha Suci Allah dari pensifatan yang salah dan sesat
Subhanaka, Allahumma, Wabihamdika, Asyhadu n la ilaha illa anta, Astaghfiruka wa Ataubu ilaik.
Share:

Pedang Khatib Hagia Sophia

Berkhutbah dengan memegang sesuatu di tangan adalah kesunahan.
Dikampung-kampung banyak ditemui khatib berkhutbah memegang tongkatnya, bahkan jika diingat, khatib iedul fitri di rumah era covid, banyak yang mengganti tongkat dengan gagang pancing, gagang raket, gagang pel dan sebagainya.
Adapun di jaman Nabi, beliau memegang pedangnya, dalam riwayat lain memegang busur panah. Di Hagia Sophia Khatib memegang pedang.
Adapun di Masjid Kagungan Dalem, yang membedakan Khatib dan pendengarnya adalah keris. Khatib membawa dan memegang keris, jamaah tidak.
Namun di kota-kota sudah jarang ditemukan khatib yang masih memegang senjatanya, baik itu tongkat, pedang, keris ataupun busur panah.
Share:

Analogi Bermadzhab dengan Fisika

Dalam ilmu fisika ada banyak cabang, seperti fisika dasar, fisika terapan, fisika matematika, filsafat fisika dan sebagainya. Misalkan kita akan berbicara atau menulis maqalah tentang filsafat fisika, tentu saya akan berusaha menuqil penulis terdahulu yang membahas dan pakar dalam filsafat fisika. Bukan berarti saya menganggap orang yang pakar dalam fisika terapan itu buta filsafat fisika, melainkan hanya karena pakar fisika terapan tersebut tidak menulis filsafat fisika secara mendalam.
Begitu pula dalam hal bermadzhab (merujuk pendapat). Masih ada yang janggal dengan pola bermadzhab orang-orang Ahlu Sunnah wal Jama'ah, yang mana mereka bermadzhab fiqih Syafi'i, atau Hambali, atau Hanafi, atau Maliki, dan bermadzhab aqidah Maturidi atau Asy'ari. Sebenarnya ini mudah dijelaskan dengan analogi diatas.
Kita ambil contoh seseorang bermadzhab fiqih Syafi'i dan bermadzhab aqidah Asy'ari. Artinya dalam hal berbicara aqidah, menulis aqidah, dan berkeyakinan, orang tersebut merujuk pada pendapat Imam Asy'ari, karena beliau adalah penulis terdahulu yang membahas aqidah. Sehingga tidak mengutip Imam Syafi'i karena beliau bukan merupakan penulis terdahulu.
Namun demikian sebagai orang yang bermanhaj Ahlu Sunnah wal Jama'ah, kita juga berprasangka bahwa kedua imam tersebut sama-sama pakar baik dalam Aqidah dan Fiqih. Perbedaannya hanyalah pada hasil karya tulis mereka yang mana satu menitik-beratkan pada pembahasan fiqih, satu menitik-beratkan pembahasan aqidah
Share:

Kesimpulan tanpa Daftar Pustaka

Ketika menjadi orang baru pada suatu bidang ilmu, maka akan merasa keminter, koyo koyoa pendekar kalau di dunia persilatan.
Begitu pula dalam dunia akademik maupun pengajian, yang muncul adalah MENURUT SAYA, tapi ketika sudah menjadi orang lama, hampir purna, atau sudah khatam, pasti diajarkan, sebelum menurut saya, harus menyampaikan penelitian terdahulu, menyampaikan pendapat ulama salaf.
Sehingga ketika menuliskan karya, tugas akhir, kitab, maka pendapat saya harus disampaikan terakhir pada bab kesimpulan dan saran. Jika sampai kesimpulan dan saran ini berbeda dengan penelitian terdahulu, terutama dalam hal konsep, maka akan menjadi bahan pembahasan yang panjang.
Begitupula dalam pengajian, ketika menyampaikan fatwa simpulan, maka semestinya tidak menyelisihi ulama salaf (terdahulu), jikapun berbeda maka disini adalah ijtihad yang pasti akan menjadi pembahasan, pendiskusian yang panjang. Tapi jika sama, maka semestinya disampaikan bahwa saya mengikuti pendapat (madzhab) si A, misalnya.
Mahasiswa yang sudah skripsian semestinya paham.
Share:

'Alim dan Muballigh

Ketika seorang Pakar di undang ke sebuah seminar ilmiah, maka Pakar tersebut mestinya diminta menyampaikan sesuai bidang kepakarannya.
Begitu juga seorang Alim, ketika diundang ke sebuah Pesantren atau majelis ilmu, maka semestinya Alim ini menyampaikan spesialisasi keAlimannya, bukan masalah umum.
Berbeda dengan seorang Mubaligh yang bertemunya dengan masyarakat umum, maka yang disampaikan semestinya yang Umum, amar makruf nahi mungkar, bukan bahasan Khusus spesialisasinya.
Share:

APAKAH HARAMNYA MUSIK ITU SUDAH IJMAK EMPAT MAZHAB?

PERTANYAAN
Ustadz Bukankah Hukun Musik Itu HARAM karna musik itu illat nya Melalaikan serta dalil dari Al-Qur’an ialah Surah Luqman:31/Ayat 6-7 dengan Tafsir Lafadz لهو الحديث” yang ditafsirkan nyanyian oleh Sahabat Terkenal seperti Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu dan yang lainnya serta ada dalil Dari Hadits sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”
Lalu Katanya Musik ini Sudah Ijma’ Salafus Sholih baik dari 4 Madzahib Fuqaha’ yang mengatakan bahwa musik ini haram apalagi dinyanyikan wanita yang konsekuensinya akan menimbulkan fitnah syahwat bagi lelaki ajnabi , Mohon Ustadz jika ada kesalahan Tolong dikoreksi , Jazakallahu Khairan (Yhann, arlianhambaallah@gmail.com)
JAWABAN
Oleh : Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jika dikatakan ada ulama yang mengharamkannya, maka itu betul.
Tapi jika dikatakan bahwa sudah ijmak haram, maka itu yang tidak tepat, karena soal musik ini memang soal ikhtilaf sejak dari dulu. Asy-Syaukani menegaskan bahwa soal nyanyian, baik diiringi dengan musik atau tidak itu sudah diperselisihkan sejak dulu. Beliau berkata,
وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي الْغِنَاءِ مَعَ آلَةٍ مِنْ آلَاتِ الْمَلَاهِي وَبِدُونِهَا (نيل الأوطار (8/ 113(
Artinya,
“Nyanyian diperselisihkan (hukumnya) baik dengan alat-alat musik maupun tanpa alat musik” (Nailu Al-Authar, juz 8 hlm 113)
Mazhab Asy-Syafi’i memerinci hukumnya. Ada kondisi menjadi mubah, ada yang makruh dan ada yang haram. Penjelasan detailnya ada dalam tanya jawab dalam situs kami irtaqi.net yang berjudul APA SIKAP MAZHAB ASY-SYAFI’I TERHADAP MUSIK?
Penduduk Madinah, Abdullah bn Ja’far, Thawus, Al-Ghazzali, Ibnu Hazm dan Sufi dikenal tidak mengharamkan musik dan mengatakan hukumnya mubah. Bahkan menurut Al-Qaffal, mazhab resmi imam Malik adalah memubahkan nyanyian dengan alat musik.
Salah satu perawi yang dipakai Al-Bukhari dalam shahihnya bahkan bernyanyi dulu sebelum meriwayatkan hadis karena ada muridnya di kalangan ahli hadis yang bersikap terlalu keras terhadap musik. Nama beliau adalah Ibrahim bin Sa’ad. Beliau adalah cicit Shahabat besar; Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau jelas dikenal sebagai ulama kibar dan perawi tsiqah. Beliau melakukan itu agar sikap muridnya proporsional. Seakan-akan beliau ingin bilang, “Gitu-ya gitu ke nyanyian itu. Tapi nyanyian itu ya ndak segitunya lah. Ndak gitu-gitu amat”. Faktanya, sikap beliau terhadap musik ini tidak membuat beliau menjadi cacat dalam hal kredibilitas dan kaum muslimin tetap menghormati beliau sebagai ulama besar. Adz-Dzahabi menceritakan sikap Ibrahim bin Sa’ad ini dalam Siyaru A’lam An-Nubala sebagai berikut,
قُلْتُ: كَانَ مِمَّنْ يَتَرَخَّصُ فِي الغِنَاءِ عَلَى عَادَةِ أَهْلِ المَدِيْنَةِ، وَكَأَنَّهُ لِيْمَ فِي ذَلِكَ، فَانْزَعَجَ عَلَى المُحَدِّثِيْنَ، وَحَلَفَ أَنَّهُ لاَ يُحَدِّثَ حَتَّى يُغَنِّي قَبْلَهُ، (سير أعلام النبلاء ط الرسالة (8/ 306)
Artinya,
“Aku (Adz-Dzhabi) berkata, ‘Beliau (Ibrahim bin Sa’d) termasuk orang yang memberi rukhshah dalam nyanyian sebagaimana tradisi penduduk Madinah. Seakan-akan beliau dicela karena hal itu sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan ahli hadits. Beliaupun bersumpah tidak akan mengajarkan hadis hingga beliau beliau bernyanyi terlebih dahulu” (Siyaru A’lami An-Nubala’ juz 8 hlm 306)
Abu Al-Fadhl ja’far bin Tsa’lab Asy-Syafi’i mempunyai kitab khusus untuk membolehkan nyanyian dengan syarat-syarat khusus berjudul Al-Imta’ fi Ahkam As-Sama’. Adz-Dzahabi juga punya karya yang senada dengan ini berjudul Risalatu Ar-Rukhshah fi Al-Ghina’ Wa Ath-Tharab bi Syarthihi.
Asy-Syaukani bahkan punya kitab khusus yang membantah pendapat yang mengharamkan mendengarkan lagu secara mutlak. Nama kitabnya berjudul “Ibthal Da’wa Al-Ijma’ ala Tahrimi Muthlaqi As-Sama’” (membatalkan klaim ijmak tentang haramnya mendengarkan nyanyian secara mutlak)
Tentang hadis bahwa akan ada umat Islam yang menghalalkan ma’azif/alat musik, maka Asy-Syaukani menjelaskan bahwa tidak semua hal yang disambung athaf wawu itu konsekuensi hukumnya sama. Bisa jadi ada sejumlah hal disambung dengan athaf wawu, tapi hukumnya berbeda. Argumentasi besarnya adalah ayat ini,
{ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ} [النحل: 90]
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan” (An-Nahl; 90)
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan,
• Adil
• Ihsan
• Menyantuni kerabat
• Menjauhi fahsya’, munkar dan baghyun
Adil itu wajib, silaturahim dengan menyantuni kerabat itu wajib, menjauhi maksiat itu wajib. Tapi ihsan seperti sedekah setelah membayar zakat hukumnya sunah. Ini menunjukkan hal-hal yang disambung dengan wawu athaf tidak selalu hukumnya sama.
Jadi ketika ada hadis yang mengatakan bahwa akan ada sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutra, khomr dan alat musik, maka itu tidak bisa disimpulkan semua hukumnya sama. Zina haram sudah jelas. Sutra haram bagi lelaki (tapi halal bagi wanita) juga sudah jelas. Khomr haram sudah jelas. Untuk alat musik, itulah yang menjadi topik ikhtilaf para ulama. Seandainya memang hadis ini sangat jelas bermakna mengharamkan musik, tidak mungkin ada ikhtilaf ulama dalam persoalan ini.
Wallahua’lam
Share: