Kesesatan Memurnikan Aqidah Part 1

Jika kita lihat lembaran sejarah dan latar belakangnya. Dalam Islam dikenal beberapa madzhab aqidah, baik aqidah yang shahih dan yang sesat. Adapun munculnya aqidah yang sesat ini jika dilihat dari latar belakangnya adalah upaya memurnikan aqidah yang salah langkah. Bahkan mereka yang tersesat ini menggunakan jargon memurnikan aqidah sehingga Khalifah pun tertarik menggunakannya sebagai madzhab aqidah resmi kekhalifahan saat itu.

Mari kita ambil contoh, aqidah mu'tazilah, mereka bersemangat memurnikan aqidah dengan menghindarkan Allah dari persifatan makhluq, sehingga setiap ada ayat yang berpotensi menyamakan Allah dengan makhluq akan ditakwil. Di posisi inilah kesesatan mulai muncul, sehingga mereka menakwil ayat-ayat yang menunjukan Allah bisa mendengar, bisa melihat, bisa berkata (Sama', Bashar, Kalam). Mereka berfikir bahwa jika Allah melihat berarti Allah punya mata, begitu juga dengan pendengaran dan penglihatan. Jika Allah memiliki mata, telinga dan mulut, berarti Allah tersusun oleh bagian-bagian tubuhNya. Jika demikian Allah bukanlah dzat yang Esa karena tersusun oleh bagian-bagian. Sehingga mu'tazilah mengingkari sifat Sama' Bashar, Kalam dan akan selalu menakwil ayat-ayat yang berkaitan dengan Sama' Bashar Kalam ataupun ayat yang berkaitan dengan ain, yad, wajh, maupun istiwa'. Mereka menakwil inipun juga karena adanya kekhawatiran terhadap umat dari penjasadan Allah, maksudnya mereka ingin agar umat tidak sampai menggambarkan Allah secara jasadi dan akhirnya bisa berujung membuat patung Allah.

Sekilas aqidah mu'tazilah ini benar karena ingin memurnikan aqidah pensifatan Allah dari penggambaran jasadiyah Allah. Namun penolakan mereka terhadap sifat Sama' Bashor Kalam juga mengandung arti bahwa Allah Buta, Allah Bisu, Allah Tuli. Sehingga pada tahap ini, pantaslah jika mereka disebut sesat.

Maha Suci Allah dari pensifatan yang salah dan sesat
Subhanaka, Allahumma, Wabihamdika, Asyhadu n la ilaha illa anta, Astaghfiruka wa Ataubu ilaik.
Share:

Pedang Khatib Hagia Sophia

Berkhutbah dengan memegang sesuatu di tangan adalah kesunahan.
Dikampung-kampung banyak ditemui khatib berkhutbah memegang tongkatnya, bahkan jika diingat, khatib iedul fitri di rumah era covid, banyak yang mengganti tongkat dengan gagang pancing, gagang raket, gagang pel dan sebagainya.
Adapun di jaman Nabi, beliau memegang pedangnya, dalam riwayat lain memegang busur panah. Di Hagia Sophia Khatib memegang pedang.
Adapun di Masjid Kagungan Dalem, yang membedakan Khatib dan pendengarnya adalah keris. Khatib membawa dan memegang keris, jamaah tidak.
Namun di kota-kota sudah jarang ditemukan khatib yang masih memegang senjatanya, baik itu tongkat, pedang, keris ataupun busur panah.
Share:

Analogi Bermadzhab dengan Fisika

Dalam ilmu fisika ada banyak cabang, seperti fisika dasar, fisika terapan, fisika matematika, filsafat fisika dan sebagainya. Misalkan kita akan berbicara atau menulis maqalah tentang filsafat fisika, tentu saya akan berusaha menuqil penulis terdahulu yang membahas dan pakar dalam filsafat fisika. Bukan berarti saya menganggap orang yang pakar dalam fisika terapan itu buta filsafat fisika, melainkan hanya karena pakar fisika terapan tersebut tidak menulis filsafat fisika secara mendalam.
Begitu pula dalam hal bermadzhab (merujuk pendapat). Masih ada yang janggal dengan pola bermadzhab orang-orang Ahlu Sunnah wal Jama'ah, yang mana mereka bermadzhab fiqih Syafi'i, atau Hambali, atau Hanafi, atau Maliki, dan bermadzhab aqidah Maturidi atau Asy'ari. Sebenarnya ini mudah dijelaskan dengan analogi diatas.
Kita ambil contoh seseorang bermadzhab fiqih Syafi'i dan bermadzhab aqidah Asy'ari. Artinya dalam hal berbicara aqidah, menulis aqidah, dan berkeyakinan, orang tersebut merujuk pada pendapat Imam Asy'ari, karena beliau adalah penulis terdahulu yang membahas aqidah. Sehingga tidak mengutip Imam Syafi'i karena beliau bukan merupakan penulis terdahulu.
Namun demikian sebagai orang yang bermanhaj Ahlu Sunnah wal Jama'ah, kita juga berprasangka bahwa kedua imam tersebut sama-sama pakar baik dalam Aqidah dan Fiqih. Perbedaannya hanyalah pada hasil karya tulis mereka yang mana satu menitik-beratkan pada pembahasan fiqih, satu menitik-beratkan pembahasan aqidah
Share:

Kesimpulan tanpa Daftar Pustaka

Ketika menjadi orang baru pada suatu bidang ilmu, maka akan merasa keminter, koyo koyoa pendekar kalau di dunia persilatan.
Begitu pula dalam dunia akademik maupun pengajian, yang muncul adalah MENURUT SAYA, tapi ketika sudah menjadi orang lama, hampir purna, atau sudah khatam, pasti diajarkan, sebelum menurut saya, harus menyampaikan penelitian terdahulu, menyampaikan pendapat ulama salaf.
Sehingga ketika menuliskan karya, tugas akhir, kitab, maka pendapat saya harus disampaikan terakhir pada bab kesimpulan dan saran. Jika sampai kesimpulan dan saran ini berbeda dengan penelitian terdahulu, terutama dalam hal konsep, maka akan menjadi bahan pembahasan yang panjang.
Begitupula dalam pengajian, ketika menyampaikan fatwa simpulan, maka semestinya tidak menyelisihi ulama salaf (terdahulu), jikapun berbeda maka disini adalah ijtihad yang pasti akan menjadi pembahasan, pendiskusian yang panjang. Tapi jika sama, maka semestinya disampaikan bahwa saya mengikuti pendapat (madzhab) si A, misalnya.
Mahasiswa yang sudah skripsian semestinya paham.
Share:

'Alim dan Muballigh

Ketika seorang Pakar di undang ke sebuah seminar ilmiah, maka Pakar tersebut mestinya diminta menyampaikan sesuai bidang kepakarannya.
Begitu juga seorang Alim, ketika diundang ke sebuah Pesantren atau majelis ilmu, maka semestinya Alim ini menyampaikan spesialisasi keAlimannya, bukan masalah umum.
Berbeda dengan seorang Mubaligh yang bertemunya dengan masyarakat umum, maka yang disampaikan semestinya yang Umum, amar makruf nahi mungkar, bukan bahasan Khusus spesialisasinya.
Share:

APAKAH HARAMNYA MUSIK ITU SUDAH IJMAK EMPAT MAZHAB?

PERTANYAAN
Ustadz Bukankah Hukun Musik Itu HARAM karna musik itu illat nya Melalaikan serta dalil dari Al-Qur’an ialah Surah Luqman:31/Ayat 6-7 dengan Tafsir Lafadz لهو الحديث” yang ditafsirkan nyanyian oleh Sahabat Terkenal seperti Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu dan yang lainnya serta ada dalil Dari Hadits sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”
Lalu Katanya Musik ini Sudah Ijma’ Salafus Sholih baik dari 4 Madzahib Fuqaha’ yang mengatakan bahwa musik ini haram apalagi dinyanyikan wanita yang konsekuensinya akan menimbulkan fitnah syahwat bagi lelaki ajnabi , Mohon Ustadz jika ada kesalahan Tolong dikoreksi , Jazakallahu Khairan (Yhann, arlianhambaallah@gmail.com)
JAWABAN
Oleh : Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jika dikatakan ada ulama yang mengharamkannya, maka itu betul.
Tapi jika dikatakan bahwa sudah ijmak haram, maka itu yang tidak tepat, karena soal musik ini memang soal ikhtilaf sejak dari dulu. Asy-Syaukani menegaskan bahwa soal nyanyian, baik diiringi dengan musik atau tidak itu sudah diperselisihkan sejak dulu. Beliau berkata,
وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي الْغِنَاءِ مَعَ آلَةٍ مِنْ آلَاتِ الْمَلَاهِي وَبِدُونِهَا (نيل الأوطار (8/ 113(
Artinya,
“Nyanyian diperselisihkan (hukumnya) baik dengan alat-alat musik maupun tanpa alat musik” (Nailu Al-Authar, juz 8 hlm 113)
Mazhab Asy-Syafi’i memerinci hukumnya. Ada kondisi menjadi mubah, ada yang makruh dan ada yang haram. Penjelasan detailnya ada dalam tanya jawab dalam situs kami irtaqi.net yang berjudul APA SIKAP MAZHAB ASY-SYAFI’I TERHADAP MUSIK?
Penduduk Madinah, Abdullah bn Ja’far, Thawus, Al-Ghazzali, Ibnu Hazm dan Sufi dikenal tidak mengharamkan musik dan mengatakan hukumnya mubah. Bahkan menurut Al-Qaffal, mazhab resmi imam Malik adalah memubahkan nyanyian dengan alat musik.
Salah satu perawi yang dipakai Al-Bukhari dalam shahihnya bahkan bernyanyi dulu sebelum meriwayatkan hadis karena ada muridnya di kalangan ahli hadis yang bersikap terlalu keras terhadap musik. Nama beliau adalah Ibrahim bin Sa’ad. Beliau adalah cicit Shahabat besar; Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau jelas dikenal sebagai ulama kibar dan perawi tsiqah. Beliau melakukan itu agar sikap muridnya proporsional. Seakan-akan beliau ingin bilang, “Gitu-ya gitu ke nyanyian itu. Tapi nyanyian itu ya ndak segitunya lah. Ndak gitu-gitu amat”. Faktanya, sikap beliau terhadap musik ini tidak membuat beliau menjadi cacat dalam hal kredibilitas dan kaum muslimin tetap menghormati beliau sebagai ulama besar. Adz-Dzahabi menceritakan sikap Ibrahim bin Sa’ad ini dalam Siyaru A’lam An-Nubala sebagai berikut,
قُلْتُ: كَانَ مِمَّنْ يَتَرَخَّصُ فِي الغِنَاءِ عَلَى عَادَةِ أَهْلِ المَدِيْنَةِ، وَكَأَنَّهُ لِيْمَ فِي ذَلِكَ، فَانْزَعَجَ عَلَى المُحَدِّثِيْنَ، وَحَلَفَ أَنَّهُ لاَ يُحَدِّثَ حَتَّى يُغَنِّي قَبْلَهُ، (سير أعلام النبلاء ط الرسالة (8/ 306)
Artinya,
“Aku (Adz-Dzhabi) berkata, ‘Beliau (Ibrahim bin Sa’d) termasuk orang yang memberi rukhshah dalam nyanyian sebagaimana tradisi penduduk Madinah. Seakan-akan beliau dicela karena hal itu sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan ahli hadits. Beliaupun bersumpah tidak akan mengajarkan hadis hingga beliau beliau bernyanyi terlebih dahulu” (Siyaru A’lami An-Nubala’ juz 8 hlm 306)
Abu Al-Fadhl ja’far bin Tsa’lab Asy-Syafi’i mempunyai kitab khusus untuk membolehkan nyanyian dengan syarat-syarat khusus berjudul Al-Imta’ fi Ahkam As-Sama’. Adz-Dzahabi juga punya karya yang senada dengan ini berjudul Risalatu Ar-Rukhshah fi Al-Ghina’ Wa Ath-Tharab bi Syarthihi.
Asy-Syaukani bahkan punya kitab khusus yang membantah pendapat yang mengharamkan mendengarkan lagu secara mutlak. Nama kitabnya berjudul “Ibthal Da’wa Al-Ijma’ ala Tahrimi Muthlaqi As-Sama’” (membatalkan klaim ijmak tentang haramnya mendengarkan nyanyian secara mutlak)
Tentang hadis bahwa akan ada umat Islam yang menghalalkan ma’azif/alat musik, maka Asy-Syaukani menjelaskan bahwa tidak semua hal yang disambung athaf wawu itu konsekuensi hukumnya sama. Bisa jadi ada sejumlah hal disambung dengan athaf wawu, tapi hukumnya berbeda. Argumentasi besarnya adalah ayat ini,
{ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ} [النحل: 90]
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan” (An-Nahl; 90)
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan,
• Adil
• Ihsan
• Menyantuni kerabat
• Menjauhi fahsya’, munkar dan baghyun
Adil itu wajib, silaturahim dengan menyantuni kerabat itu wajib, menjauhi maksiat itu wajib. Tapi ihsan seperti sedekah setelah membayar zakat hukumnya sunah. Ini menunjukkan hal-hal yang disambung dengan wawu athaf tidak selalu hukumnya sama.
Jadi ketika ada hadis yang mengatakan bahwa akan ada sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutra, khomr dan alat musik, maka itu tidak bisa disimpulkan semua hukumnya sama. Zina haram sudah jelas. Sutra haram bagi lelaki (tapi halal bagi wanita) juga sudah jelas. Khomr haram sudah jelas. Untuk alat musik, itulah yang menjadi topik ikhtilaf para ulama. Seandainya memang hadis ini sangat jelas bermakna mengharamkan musik, tidak mungkin ada ikhtilaf ulama dalam persoalan ini.
Wallahua’lam
Share:

Shadaqallahul Adzim Bid’ah?

Bacaan "shadaqallah al-A'dzim" ini dinilai bidah oleh Syekh Bin Baz dan Syekh Utsaimin. Namun Syaikh Athiyah Shaqr, Mufti al-Azhar mengeluarkan Fatwa terkait amaliah membaca Shadaqallahul Adzim saat selesai membaca al-Quran (Fatawa al-Azhar, 8/86):
وذكر القرطبى في مقدمة تفسيره أن الحكيم الترمذى تحدث عن آداب تلاوة القراَن الكريم وجعل منها أن يقول عند الانتهاء من القراءة : صدق الله العظيم أو أية عبارة تؤدى هذا المعنى . ونص عبارته "ج 1 ص 27 " : ومن حرمته إذا انتهت قراءته أن يصدق ربه ، ويشهد بالبلاغ لرسوله صلى الله عليه وسلم
Al-Qurthubi menyebutkan di Mukaddimah Tafsirnya bahwa Hakim al-Tirmidzi menyampaikan tatakrama dalam membaca al-Quran diantaranya adalah “Maha benar Allah”, atau redaksi lain yang semakna. Ia menjelaskan (1/27) bahwa diantara bentuk memuliakan al-Quran jika selesai membacanya adalah menyatakan Allah maha benar dan memberi kesaksian bahwa Rasulullah telah menyampaikan wahyu
وجاء فى فقه المذاهب الأربعة ، نشر أوقاف مصر، أن الحنفية قالوا : لو تكلَّم المصلى بتسبيح مثل . صدق اللّه العظيم عند فراغ القارئ من القراءة لا تبطل صلاته إذا قصد مجرد الثناء والذكر أو التلاوة ، وأن الشافعية قالوا : لا تبطل مطلقا بهذا القول
Dijelaskan dalam Fikih 4 Madzhab bahwa Ulama Hanafiyah berkata: “Jika orang yang salat membaca Tasbih, misalnya ‘Allah maha benar’ setelah imamnya selesai membaca al-Quran, maka tidak batal jika bertujuan memuji Allah, berdzikir atau membaca al-Quran”. Ulama Syafiiyah berkata: “Tidak batal mengucapkan kalimat ‘Allah maha benar’ secara mutlak”
فكيف يجرؤ أحد فى هذه الأيام على أن يقول : إن قول : صدق الله العظيم ، بعد الانتهاء من قراءة القرآن بدعة؟ أكرر التحذير من التعجل فى إصدار أحكام فقهية قبل التأكد من صحتها ، والله سبحانه وتعالى يقول :{ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب إن الذين يفترون على الله الكذب لا يفلحون } النخل : 116
Maka bagaimana mungkin hari ini ada yang mengatakan bahwa mengucapkan ‘Allah maha benar’ setelah membaca al-Quran adalah bidah? Saya (Syaikh Athiyah) ulang-ulang mengingatkan supaya tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan hukum fikih sebelum memperkuat kesahihannya. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (al-Nahl: 116)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Sahkah Tarawih Ngebut (20 Rakaat Ditempuh Kurang Dari 10 Menit)

Sudah saya duga masalah ini akan terbahas di bedah buku UMM Malang, ternyata betul, mahasiswa bertanya tentang lebih utamanya Tarawih 11 rakaat tapi tidak ngebut, dari pada 23 rakaat tapi ngebut.
Tarawih semecam ini yang saya ketahui pertama adalah di ponpes Shiratul Fuqaha' Sepanjang, Gondanglegi Malang. Saya saat itu hanya duduk tak mampu mengerjakan tarawih secepat itu. Kedua ada di ponpes Udanawu Blitar.
Saya tidak memungkiri hal ini memang ada. Dan memang ada pendapat yang mengatakan posisi setelah ruku' (i'tidal) dan duduk di antara 2 sujud adalah tidak wajib dalam shalat sunah, uraiannya adalah:
ﻭﻗﺪ ﺟﺰﻡ ﺑﻪ اﺑﻦ اﻟﻤﻘﺮﻱ ﻣﻦ ﻋﺪﻡ ﻭﺟﻮﺏ اﻻﻋﺘﺪاﻝ ﻭاﻟﺠﻠﻮﺱ ﺑﻴﻦ اﻟﺴﺠﺪﺗﻴﻦ ﻓﻲ اﻟﻨﻔﻞ ﻭﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﻓﻬﻞ ﻳﺧﺮ ﺳﺎﺟﺪا ﻣﻦ ﺭﻛﻮﻋﻪ ﺑﻌﺪ اﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﺃﻭ ﻳﺮﻓﻊ ﺭﺃﺳﻪ ﻗﻠﻴﻼ ﺃﻡ ﻛﻴﻒ اﻟﺤﺎﻝ ﻭﻟﻌﻞ اﻷﻗﺮﺏ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺜﺎﻧﻲ اﻩـ ﻋ ﺷ ﻋﻠﻰ ﻣ ﺭ.
"Ibnu Muqri telah memilih pendapat dalam Raudlah bahwa i'tidal dan duduk di antara 2 sujud adalah tidak wajib dalam shalat sunah. Berdasarkan pendapat ini apakah orang yang shalat langsung sujud dari ruku' atau mengangkat kepala sedikit, atau bagaimana? Pendapat yang lebih kuat menurutnya adalah yang kedua (mengangkat kepala sedikit terus sujud)" (Hasyiatul Jamal 1/365)
Dan perlu diketahui bahwa selama ada 1 pendapat di dalam madzhab Syafi'i maka akan ada juga yang mengamalkan pendapat itu. Saya guyoni bahwa tali di lambang NU itu diikat longgar, tidak seret, makanya ada yang mengamalkan.
Setahun lalu saya menerima informasi dari Wakil Rais Am, KH Miftahul Akhyar, bahwa beliau menganjurkan melakukan shalat Tarawih ini dengan khusuk dan tenang, tidak tergesa-gesa. Beliau kemudian menyampaikan sebuah hadis:
اﻟﺼﻼﺓ ﻣﺜﻨﻰ ﻣﺜﻨﻰ، ﺗﺸﻬﺪ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ، ﻭﺗﺨﺸﻊ، ﻭﺗﻀﺮﻉ، ﻭﺗﻤﺴﻜﻦ
Shalat sunah adalah 2 rakaat 2 rakaat, kamu melakukan tasyahud tiap 2 rakaat, khusuk, merendahkan diri dan tenang (HR Tirmidzi)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Tadarus Harus Dijauhi?

Ada Ustadz yang menyuruh untuk menjauhi tadarus Al-Qur'an jika yang membaca sama-sama sudah pandai, bukan untuk belajar, bukan untuk mengkaji tafsir. Intinya tadarus Al-Qur'an yang diamalkan warga NU adalah tidak ada dalilnya. Bener gitu? Mari kita simak hadis dan penjelasan para ulama:
ﻗَﺎﻝَ اﺑْﻦُ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ " ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﺟْﻮَﺩَ اﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺃَﺟْﻮَﺩَ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻓِﻲ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ اﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻓﻴﺪاﺭﺳﻪ اﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻓَﻠَﺮَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﺃَﺟْﻮَﺩُ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻣِﻦْ اﻟﺮِّﻳﺢِ اﻟْﻤُﺮْﺳَﻠَﺔِ " ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam adalah paling dermawannya manusia. Kedermawanan beliau paling terlihat ketika Ramadhan saat didatangi oleh Jibril. Ia datang kepada Nabi tiap malam di bulan Ramadhan, kemudian Jibril membacakan (mudarasah) Al-Qur'an kepada Nabi. Sungguh kedermawanan Nabi dengan kebaikan seperti angin yang berhembus" (HR Bukhari)
Apa maksud mudarasah dalam hadis diatas? Kita simak penjelasan Imam Nawawi, ahli hadis dan ahli Fikih dari Madzhab Syafi'i pengarang Syarah Sahih Muslim:
(اﻟﺴَّﺎﺩِﺳَﺔُ) ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑُﻨَﺎ اﻟﺴُّﻨَّﺔُ ﻛَﺜْﺮَﺓُ ﺗِﻼَﻭَﺓِ اﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻓِﻲ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻭَﻣُﺪَاﺭَﺳَﺘِﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﺃَﻥْ ﻳَﻘْﺮَﺃَ ﻋَﻠَﻰ ﻏَﻴْﺮِﻩِ ﻭَﻳَﻘْﺮَﺃَ ﻏَﻴْﺮُﻩُ ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻠﺤﺪﻳﺚ اﻟﺴﺎﺑﻖ ﻗﺮﻳﺒﺎ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ
Ulama Syafi'iyah menganjurkan memperbanyak membaca Al-Qur'an di bulan Ramadhan dan mudarasah. Yaitu seseorang membaca Al-Qur'an kepada orang lain dan orang lain tersebut membacakan Al-Qur'an untuknya, berdasarkan hadis Ibnu Abbas di atas (Al-Majmu', 6/377)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Mengusap Wajah, Membalik Tangan, dan Bersalaman

1. Hadis mengusap wajah setelah shalat
ﻭَﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲِ ﺑْﻦِ ﻣَﺎﻟِﻚٍ: «ﺃَﻥَّ اﻟﻨَّﺒِﻲَّ - ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ - ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَا ﺻَﻠَّﻰ ﻭَﻓَﺮَﻍَ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻪِ ﻣَﺴَﺢَ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻪِ ﻭَﻗَﺎﻝَ: " ﺑِﺴْﻢِ اﻟﻠَّﻪِ اﻟَّﺬِﻱ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﻫُﻮَ اﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ اﻟﺮَّﺣِﻴﻢُ، اﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨِّﻲ اﻟْﻬَﻢَّ ﻭَاﻟْﺤَﺰَﻥَ» ".
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam setelah selesai dari shalat maka beliau mengusap kepala dengan tangan kanan dan berdoa: "Dengan nama Allah yang tiada Tuhan selain Allah, maha Rahman dan Rahim. Ya Allah hilangkan susah dan sedih dariku"
ﻭَﻓِﻲ ﺭِﻭَاﻳَﺔٍ: «ﻣَﺴَﺢَ ﺟَﺒْﻬَﺘَﻪُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ اﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻓِﻴﻬَﺎ: " اﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨِّﻲ اﻟْﻬَﻢَّ ﻭَاﻟْﺤَﺰَﻥَ».
Dalam riwayat lain Nabi mengusap kening/ dahi dan berdoa: "Ya Allah hilangkan susah dan sedih dariku"
ﺭَﻭَاﻩُ اﻟﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲُّ ﻓِﻲ اﻷَْﻭْﺳَﻂِ، ﻭَاﻟْﺒَﺰَّاﺭُ ﺑِﻨَﺤْﻮِﻩِ ﺑِﺄَﺳَﺎﻧِﻴﺪَ، ﻭَﻓِﻴﻪِ ﺯَﻳْﺪٌ اﻟْﻌَﻤِّﻲُّ، ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺛَّﻘَﻪُ ﻏَﻴْﺮُ ﻭَاﺣِﺪٍ، ﻭَﺿَﻌَّﻔَﻪُ اﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭُ، ﻭَﺑَﻘِﻴَّﺔُ ﺭِﺟَﺎﻝِ ﺃَﺣَﺪِ ﺇِﺳْﻨَﺎﺩَﻱِ اﻟﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲِّ ﺛِﻘَﺎﺕٌ، ﻭَﻓِﻲ ﺑَﻌْﻀِﻬِﻢْ ﺧِﻼَﻑٌ.
HR Thabrani dan Bazzar dengan beberapa sanad. Di dalamnya ada Zaid Al-Ammi, lebih dari 1 ulama menilai terpercaya dan kebanyakan ulama menilai dhaif. Perawi lain dari 2 sanad Thabrani adalah terpercaya, sebagiannya diperselisihkan.
2. Hadis mengusap wajah setelah berdoa
Syekh Abdullah Al-Faqih, sesama Salafi dan pengasuh Fatawa Syabkah Islamiah, menulis:
ﻓﻘﺪ ﻭﺭﺩﺕ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﻲ ﻣﺴﺢ اﻟﻮﺟﻪ ﺑﻌﺪ اﻟﺪﻋﺎء - ﺧﺎﺭﺝ اﻟﺼﻼﺓ- ﻛﻠﻬﺎ ﺿﻌﻴﻔﺔ، ﺇﻻ ﺃﻥ اﻟﺤﺎﻓﻆ اﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻣﺠﻤﻮﻋﻬﺎ ﻳﺒﻠﻎ ﺩﺭﺟﺔ اﻟﺤﺴﻦ.
Sungguh terdapat beberapa hadis tentang mengusap wajah setelah berdoa -di luar shalat- yang keseluruhannya dhaif. Namun menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi isyarat secara akumulasi riwayat sampai pada derajat hadis Hasan (195/351)
ﻭﻣﻨﻬﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: "ﻓﺈﺫا ﻓﺮﻏﺖ ﻓﺎﻣﺴﺢ ﺑﻬﻤﺎ ﻭﺟﻬﻚ" ﺭﻭاﻩ ﺃﺑﻮ ﺩاﻭﺩ ﻭاﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ
Diantaranya adalah sabda Nabi shalla Allahu alaihi wasallam: "Jika kalian selesai berdoa maka usaplah wajahmu dengan kedua tanganmu" (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Saya tambahkan penjelasan dari Mufti Salafi, Syekh Utsaimin:
ﻭﻣﻦ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻣﻦ ﻗﺎﻝ: ﺇﻥ اﻟﻤﺴﺢ ﺳﻨﺔ ﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ ﺃﻥ اﻷﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﻀﻌﻴﻔﺔ ﺇﺫا ﺗﻜﺎﺛﺮﺕ ﻗﻮﻯ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﻌﻀﺎً.
Diantara para ulama ada yang mengatakan bahwa mengusap wajah adalah sunah. Berdasarkan bahwa jika ada hadis dhaif jika memiliki banyak riwayat maka saling menguatkan (Majmu' Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 14/100)
3. Hadis membalikkan tangan saat doa meminta perlindungan
ﻭَﻋَﻦْ ﺧَﻼَّﺩِ ﺑْﻦِ اﻟﺴَّﺎﺋِﺐِ اﻷَْﻧْﺼَﺎﺭِﻱِّ: «ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ اﻟﻠَّﻪِ - ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ - ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَا ﺳَﺄَﻝَ ﺟَﻌَﻞَ ﺑَﺎﻃِﻦَ ﻛَﻔَّﻴْﻪِ ﺇِﻟَﻴْﻪِ، ﻭَﺇِﺫَا اﺳﺘﻌﺎﺫ ﺟَﻌَﻞَ ﻇَﺎﻫِﺮَﻫُﻤَﺎ ﺇِﻟَﻴْﻪِ». ﺭَﻭَاﻩُ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﻣُﺮْﺳَﻼً، ﻭَﺇِﺳْﻨَﺎﺩُﻩُ ﺣَﺴَﻦٌ.
Dari Khallad bin Saib Al Anshori bahwa jika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berdoa maka Nabi arahkan telapak tangannya ke wajahnya. Jika Nabi meminta perlindungan maka bagian luar tangannya diarahkan ke wajahnya -dibalik-" (HR Ahmad secara Mursal, sanadnya Hasan)
4. Hadis bersalaman setelah shalat
Imam Nawawi pengarang kitab Sahih Muslim mengatakan bahwa bersalaman setelah shalat Subuh dan Ashar adalah Bid'ah yang diperbolehkan. Mana hadisnya? Ada 2 hadis. Para Sahabat setelah shalat berebut bersalaman dengan Nabi setelah Ashar (HR Bukhari). Dalam riwayat lain setelah Subuh (riwayat Ahmad). Berikut isi hadisnya, maaf sampai pegel tangan saya yang mau nerjemah:
ﻋَﻦِ اﻟﺤَﻜَﻢِ، ﻗَﺎﻝَ: ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺃَﺑَﺎ ﺟُﺤَﻴْﻔَﺔَ، ﻗَﺎﻝَ: «ﺧَﺮَﺝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺎﻟﻬَﺎﺟِﺮَﺓِ ﺇِﻟَﻰ اﻟﺒَﻄْﺤَﺎءِ، ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄَ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻈُّﻬْﺮَ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ، ﻭَاﻟﻌَﺼْﺮَ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ، ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻋَﻨَﺰَﺓٌ» ﻗَﺎﻝَ ﺷُﻌْﺒَﺔُ ﻭَﺯَاﺩَ ﻓِﻴﻪِ ﻋَﻮْﻥٌ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﺃَﺑِﻲ ﺟُﺤَﻴْﻔَﺔَ، ﻗَﺎﻝَ: «ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻤُﺮُّ ﻣِﻦْ ﻭَﺭَاﺋِﻬَﺎ اﻟﻤَﺮْﺃَﺓُ، ﻭَﻗَﺎﻡَ اﻟﻨَّﺎﺱُ ﻓَﺠَﻌَﻠُﻮا ﻳَﺄْﺧُﺬُﻭﻥَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻓَﻴَﻤْﺴَﺤُﻮﻥَ ﺑِﻬَﺎ ﻭُﺟُﻮﻫَﻬُﻢْ، ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺄَﺧَﺬْﺕُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓﻮﺿﻌﺘﻬﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻲ ﻓَﺈِﺫَا ﻫِﻲَ ﺃَﺑْﺮَﺩُ ﻣِﻦَ اﻟﺜَّﻠْﺞِ ﻭَﺃَﻃْﻴَﺐُ ﺭَاﺋِﺤَﺔً ﻣِﻦَ اﻟﻤِﺴْﻚِ» رواه البخاري
ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﺑْﻦِ اﻷَْﺳْﻮَﺩِ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ، ﻗَﺎﻝَ: ﺣَﺠَﺠْﻨَﺎ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺣَﺠَّﺔَ اﻟْﻮَﺩَاﻉِ، ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﺑِﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺻَﻼَﺓَ اﻟﺼُّﺒْﺢِ ﺃَﻭِ اﻟْﻔَﺠْﺮِ ... ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﺃَﺷَﺐُّ اﻟﺮِّﺟَﺎﻝِ ﻭَﺃَﺟْﻠَﺪُﻩُ. ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﻤَﺎ ﺯِﻟْﺖُ ﺃَﺯْﺣَﻢُ اﻟﻨَّﺎﺱَ ﺣَﺘَّﻰ ﻭَﺻَﻠْﺖُ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻓَﺄَﺧَﺬْﺕُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓﻮﺿﻌﺘﻬﺎ ﺇِﻣَّﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻲ ﺃَﻭْ ﺻَﺪْﺭِﻱ، ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﻤَﺎ ﻭَﺟَﺪْﺕُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺃَﻃْﻴَﺐَ ﻭَﻻَ ﺃَﺑْﺮَﺩَ ﻣِﻦْ ﻳَﺪِ ﺭَﺳُﻮﻝِ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ. رواه
احمد
Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)

Share:

Soal Kirim Pahala Al-Qur'an

Kirim pahala Al-Quran memang dibaca saat Tahlilan. Saya tidak perlu jauh-jauh mengutip pendapat ulama dari kalangan 4 madzhab. Cukup ulama / Mufti dari sesama mereka sendiri:
A. Syekh Utsaimin
Syekh Utsaimin ditanya tentang masalah kirim pahala Al-Qur'an kepada orang yang sudah wafat. Beliau menjawab dengan 2 pendapat ulama. Diantara kutipan dari tulisan beliau adalah:
اﻟﻘﻮﻝ اﻟﺜﺎﻧﻲ: ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻹﻧﺴﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﻨﻴﺔ ﺃﻧﻪ ﻟﻔﻼﻥ ﺃﻭ ﻓﻼﻧﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﺳﻮاء ﻛﺎﻥ ﻗﺮﻳﺒﺎ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﻗﺮﻳﺐ.
Kedua, bahwa mayit menerima manfaat dengan bacaan Al-Qur'an. Dan boleh bagi seseorang untuk membaca Al-Qur'an dengan niat agar pahalanya diberikan kepada Fulan atau fulanah dari umat Islam, baik kerabat atau bukan kerabat.
TARJIH Syekh Utsaimin:
ﻭاﻟﺮاﺟﺢ: اﻟﻘﻮﻝ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻷﻧﻪ ﻭﺭﺩ ﻓﻲ ﺟﻨﺲ اﻟﻌﺒﺎﺩاﺕ ﺟﻮاﺯ ﺻﺮﻓﻬﺎ ﻟﻠﻤﻴﺖ
Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua, sebab terdapat dalil sahih dalam jenis ibadah yang dapat diperuntukkan bagi mayit (Majmu' Fatawa Wa Rasail 2/305-306)
B. Syekh Albani
Syekh Albani yang sering dijadikan rujukan para pengikutnya di Indonesia khususnya di bidang hadis dan beberapa fatwa fikihnya, ternyata memiliki pendapat sendiri soal kirim pahala Al-Quran:
وَخُلَاصَةُ ذَلِكَ أَنَّ لِلْوَلَدِ أَنْ يَتَصَدَّقَ وَيَصُوْمَ وَيَحُجَّ وَيَعْتَمِرَ وَيَقْرَأَ الْقُرْآنَ عَنْ وَالِدَيْهِ لِأَنَّهُ مِنْ سَعْيِهِمَا ، وَلَيْسَ لَهُ ذَلِكَ عَنْ غَيْرِهِمَا إِلَّا مَا خَصَّهُ الدَّلِيْلُ مِمَّا سَبَقَتِ الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ . و الله أعلم . (السلسلة الصحيحة - ج 1 / ص 483)
“Kesimpulannya, bahwa anak boleh bersedekah, berpuasa, berhaji, berumrah dan MEMBACA AL-QURAN untuk kedua orag tuanya. Sebab anak merupakan usaha orang tua (Najm 39). Dan anak tersebut tidak bisa melakukan itu semua untuk selain orang tuanya, kecuali yang dikhususkan oleh dalil, yang telah dijelaskan” (al-Silsilah al-Sahihah, 1/483)
C. Syekh Ibnu Taimiyah
Secara khusus membaca Tahlil dan dzikir lainnya yang dihadiahkan pahalanya untuk orang yang sudah wafat difatwakan oleh panutan Salafi yang mereka sebut dengan Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah:
ﻭﺳﺌﻞ: ﻋﻦ ﻗﺮاءﺓ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﺗﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ؟ ﻭاﻟﺘﺴﺒﻴﺢ ﻭاﻟﺘﺤﻤﻴﺪ ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭاﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﺇﺫا ﺃﻫﺪاﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺛﻮاﺑﻬﺎ ﺃﻡ ﻻ؟
Ibnu Taimiyah ditanya tentang bacaan keluarga mayit apakah sampai kepada mayit? Berupa bacaan Tasbih, Tahmid, Tahlil dan Takbir, jika dihadiahkan kepada mayit apakah pahalanya sampai?
ﻓﺄﺟﺎﺏ: ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻗﺮاءﺓ ﺃﻫﻠﻪ ﻭﺗﺴﺒﻴﺤﻬﻢ ﻭﺗﻜﺒﻴﺮﻫﻢ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺫﻛﺮﻫﻢ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺇﺫا ﺃﻫﺪﻭﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻭﺻﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ.
Ibnu Taimiyah menjawab: "Bacaan keluarga mereka bisa sampai kepada mayit, baik tasbih, takbir dan dzikir mereka karena Allah. Bila mereka menghadiahkan bacaan itu kepada mayit maka akan sampai. Wallahu A'lam" (Majmu' Fatawa 24/324)
Jika Ustadz Salafi ini mengklaim bahwa ulama Ahlussunah telah melakukan Ijma' / sepakat bahwa kirim pahala Al-Quran dan Tahlil tidak sampai kepada almarhum berarti sudah jelas menurut teorinya bahwa Syekh Utsaimin, Syekh Albani bahkan Syaikhul Islam mereka bukan Ahlussunah, betul begitu?

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Bakar "Menyan" Di Makkah

Saya terkejut dulu saat pertama kali umroh melihat ada orang Arab membakar sejenis menyan di tempat Sa'i. Saya kira orang tersebut keturunan Jawa. Kata 'mereka' menyan kan warisan nenek moyang Jawa.
Dupa yang dibakar sebagai pengharum masjid ternyata memiliki riwayat tersendiri:
ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ، ﻗَﺎﻟَﺖْ: «ﺃَﻣَﺮَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺒِﻨَﺎءِ اﻟﻤَﺴَﺎﺟِﺪِ ﻓِﻲ اﻟﺪُّﻭﺭِ، ﻭَﺃَﻥْ ﺗُﻨَﻈَّﻒَ، ﻭﺗﻄﻴﺐ»
Aisyah berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk membangun masjid di perkampungan, dan dibersihkan serta diberi pengharum (HR Tirmidzi)
ﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﺣَﺠَﺮٍ ﻭَﺑِﻪِ ﻳُﻌْﻠَﻢُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﺴْﺘَﺤَﺐُّ ﺗﺠﻤﻴﺮ اﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺑِﺎﻟْﺒَﺨُﻮﺭِ ﺧِﻼَﻓًﺎ ﻟِﻤَﺎﻟِﻚٍ ﺣَﻴْﺚُ ﻛَﺮِﻫَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪُ اﻟﻠَّﻪِ ﻳُﺠَﻤِّﺮُ اﻟْﻤَﺴْﺠِﺪَ ﺇِﺫَا ﻗَﻌَﺪَ ﻋُﻤَﺮُ ﺭَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻤِﻨْﺒَﺮِ
Ibnu Hajar berkata bahwa berdasarkan riwayat ini maka dianjurkan mengharumkan masjid dengan dupa. Namun menurut Malik hukumnya makruh. Sebab Ibnu Umar mengharumkan masjid saat Umar duduk di mimbar (Tuhfah Al Ahwadzi 3/168)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share:

Melihat Nabi Dalam Keadaan Terjaga

Review Kitab Ikromul Qowam
Kitab berbahasa Arab ini secara khusus membahas tentang dalil-dalil dimungkinkannya melihat dan berjumpa dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam keadaan sadar dan terjaga.
Sebagaimana beliau cantumkan dalam mukadimah bahwa kitab ini untuk menjawab -1- orang-orang yang ingkar / tidak percaya terhadap perjumpaan orang-orang Soleh tertentu dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam secara sadar (bukan mimpi) dan -2- sanggahan kepada orang yang mengaku berjumpa dengan Nabi secara sadar sebagai pembohong.
Sistematika penulisan kitab ini cukup bagus. Di Bab pertama dijelaskan dalil-dalil yang menunjukkan bisa terjadinya perjumpaannya dengan Nabi secara sadar atau terjaga dan nama-nama ulama yang berpendapat demikian.
Dalil utama adalah hadis bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
«ﻣَﻦْ ﺭَﺁﻧِﻲ ﻓِﻲ اﻟﻤَﻨَﺎﻡِ ﻓﺴﻴﺮاﻧﻲ ﻓِﻲ اﻟﻴَﻘَﻈَﺔِ، ﻭَﻻَ ﻳَﺘَﻤَﺜَّﻞُ اﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﺑِﻲ»
"Barangsiapa yang melihat saya dalam mimpi maka akan melihat saya dalam keadaan terjaga. Dan syetan tidak bisa menyerupai saya" (HR Bukhari 6993)
Pada Bab kedua disediakan khusus jawaban atas kejanggalan yang diajukan oleh orang-orang yang tidak mempercayainya, diantaranya Al-Hafidz Ibnu Hajar menolak hal tersebut namun dijawab oleh ahli hadis lainnya seperti Al-Hafidz As-Suyuthi dan lainnya.
Bab ketiga, ini intinya menurut saya, adalah beberapa bukti penyampaian para ulama yang mendapatkan anugerah berjumlah dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam secara sadar dan terjaga.
Dalil dari sahabat yang ditulis adalah Sahabat Zaid bin Kharijah. Riwayat ini terdapat dalam kitab Dalail An-Nubuwah karya Imam Al-Baihaqi. Sebelum mencantumkan riwayat ini Al-Baihaqi menulis judul "Kesaksian orang mati atas kerasulan Muhammad shalallahu alaihi wasallam dan para Khalifah dengan riwayat yang sahih". Al-Baihaqi kemudian mencantumkan perkataan Imam Bukhari dalam "At-Tarikh" bahwa Zaid bin Kharijah ini adalah orang yang dapat berbicara setelah wafat dan memberi kesaksian terhadap Nabi dan 2 Khalifah.
Beberapa Sahabat lain yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan terjaga adalah Dhamrah (HR Thabrani, dinilai Hasan oleh Al-Hafidz Al-Haitsami). Demikian pula kisah populer Sayidina Utsman berjumpa dengan Nabi sesaat sebelum wafatnya (Al-Bidayah Wa An-Nihayah Ibn Katsir, dan Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir)
Dari kalangan Tabi'in juga ada, yaitu Ibnu Al-Mubarak.
ﻛَﺎﻥَ اﺑْﻦُ اﻟﻤُﺒَﺎﺭَﻙِ ﻳُﻜﺜِﺮُ اﻟﺠُﻠُﻮْﺱَ ﻓِﻲ ﺑَﻴْﺘِﻪِ، ﻓَﻘِﻴْﻞَ ﻟَﻪُ: ﺃَﻻَ ﺗﺴﺘﻮﺣﺶ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﺳْﺘَﻮﺣِﺶُ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻣَﻊَ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ -ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ- ﻭَﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ؟!
Ibnu Al-Mubarak banyak berdiam diri di rumah. Lalu ditanya: Apakah kamu tidak resah?" Ibnu Al-Mubarak menjawab: "Bagaimana aku resah padahal aku bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam dan para Sahabatnya" (Gus Nanal mengutip dari Ibnu Asakir, namun juga terdapat dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala' karya Al-Hafidz Adz-Dzahabi)
Selain di atas banyak lain ulama yang mengalami kejadian seperti ini. Kebanyakan oleh Gus Nanal diambilkan dari kitab Tanwir Al-Halak dan Al-Hawi karya Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi, Jami' Al-Karamat dan lainnya.
Tanbihun;
Sebagai pengamat yang menikmati karya kyai muda ini, saya ingin sedikit memberi komentar. Biasa, pengamat tinju kayak lebih hebat dari pada Mike Tyson. Padahal kalau maju ke ring tentu akan kabur sebelum bertanding. Demikian pula jika saya ditantang menulis kitab seperti ini maka saya milih untuk akad lagi (dengan istri lama, tajdidun nikah).
Pertama, karena peristiwa yang dialami oleh orang-orang Soleh dan Auliya' ini adalah karomah, maka alangkah bagusnya jika dipondasikan dengan dalil Al-Qur'an tentang kebenaran karomah seperti yang dialami oleh Ashaf, juru tulis Nabi Sulaiman yang dalam waktu singkat bisa membawa singgasana Ratu Balqis berpindah ke kerajaan Nabi Sulaiman:
ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦْ ﺁﺻَﻒَ ﺃَﻭْ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِﻩِ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎءِ اﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻬِﻲَ ﻛَﺮَاﻣَﺔٌ، ﻭَﻛَﺮَاﻣَﺔُ اﻟْﻮَﻟِﻲِّ ﻣُﻌْﺠِﺰَﺓُ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ.
Bila pemindahan itu dilakukan oleh Ashaf atau wali Allah lainnya maka itu adalah karomah. Dan karomah wali sama seperti mukjizat Nabi (Tafsir Al-Qurthubi, 13/206)
Kedua, karena ini maqam Rudud maka alangkah kuatnya bila disampaikan pendapat pentolan mereka yang percaya dengan masalah ini, misalnya:
ﻭﻻ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﻫﺬا اﻟﺒﺎﺏ: ﻣﺎ ﻳﺮﻭﻯ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻗﻮﻣﺎ ﺳﻤﻌﻮا ﺭﺩ اﻟﺴﻼﻡ ﻣﻦ ﻗﺒﺮ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺃﻭ ﻗﺒﻮﺭ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ. ﻭﺃﻥ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﺴﻴﺐ ﻛﺎﻥ ﻳﺴﻤﻊ اﻷﺫاﻥ ﻣﻦ اﻟﻘﺒﺮ ﻟﻴﺎﻟﻲ اﻟﺤﺮﺓ . ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ. ﻓﻬﺬا ﻛﻠﻪ ﺣﻖ ﻟﻴﺲ ﻣﻤﺎ ﻧﺤﻦ ﻓﻴﻪ
Tidak masuk dalam bab ini apa yang terjadi dalam riwayat bahwa sekelompok kaum mendengar jawaban Salam dari makam Nabi atau makam orang-orang Soleh lainnya. Dan Said bin Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi pada malam-malam perang Harrah, dan lainnya. Semua ini adalah haq, bukan tema yang kita bahas (Ibnu Taimiyah, Al-Iqtidha', 2/254)

Ma'ruf Khozin
(Aswaja Center NU Jatim)
Share: